Jumat, 28 Oktober 2016

Timpan Aceh - Timpan Srikaya Aceh



Kue spesial ini disajikan di hari raya idul fitri maupun idul adha,hal ini ialah tradisi turun temurun dan rahasia umum dikalangan masyarakat Aceh, bahkan hingga memiliki ungkapan atau peribahsa seperti ini “Uroe goet buluen goet Timphan ma peugoet beumeuteme rasa” (Hari baik bulan baik Timphan ibu buat harus dapat kurasakan). Namun kue ini juga ada di hari-hari biasa di warung kopi tertentu. Kue timpan memiliki varian isi mulai dari Srikaya, labu, pisang, dan juga parutan kelapa yang sudah diolah.

Bahan kue Timpan antara lain:

Pisang raja dihaluskan 250 gram
Tepung ketan 200 gr
Santan kental 2 sdm
Air kapur sirih 1 sdm
Garam1/4 sdt
Bahan Srikaya :

Telur ayam 1 gelas duralex panjang
Gula pasir 1 gelas duralex panjang
Santan kelapa kental 1 gelas duralex panjang (1/4 nya pati daun pandan)
Jintan manis (halus) 1 sendok teh
Vanili ½ sendok teh
Kayu manis 1 cm
Cara membuat :

Campur semua bahan dasar, aduk tepung ketan dan pisang yang sudah dihaluskan. Lalu masukkan santan, air kapur, dan garam. Aduk hingga merata, adonan ini digunakan untuk kulit.
Kocok telur dan gula hingga kental, lalu masukkan santan kental. Aduk rata, tambahkan jintan manis, dan kayu manis . Masak hingga kental, angkat kemudian beri vanili dan aduk rata lagi. Dinginkan dan gunakan sebgai isi timpan.
Ambil daun pisang muda yang sudah dipotong-potong kurang lebih 15 x 20 cm. Oleskan daun dengan minyak kemudian ambil adonan kulit pipihkan, kemudian isi dengan srikaya, gulung, dan bungkus.
Kue siap dikukus hingga matang kurang lebih 10-15 menit.


glory-travel.com

Kopi Aceh - Kopi Gayo Aceh


Kopi Gayo (bahasa Inggris: Gayo Coffee) merupakan varietas kopi arabika yang menjadi salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran tinggi Gayo, Aceh, Indonesia. Kopi Gayo telah mendapat Fair Trade Certified™ dari Organisasi Internasional Fair Trade pada tanggal 27 Mei 2010, Kopi Gayo menerima sertifikat IG (Indikasi Geogafis) diserahkan oleh Menteri Hukum dan HAM Indonesia. Kemudian pada Event Lelang Special Kopi Indonesia tanggal 10 Oktober 2010 di Bali, kembali Kopi Arabika Gayo memperoleh peringkat tertinggi saat cupping score. Sertifikasi dan prestasi tersebut kian memantapkan posisi Kopi Gayo sebagai Kopi Organik terbaik di dunia.

Perkebunan kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1908 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan sebagian kecil wilayah Gayo Lues. Ketiga daerah yang berada di ketinggian 1200 m di atas permukaan laut tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia, yaitu sekitar 81.000 hektar. Masing-masing 42.000 hektar berada di Kabupaten Bener Meriah, selebihnya (39.000 hektar) di Kabupaten Aceh Tengah. Masyarakat Gayo berprofesi sebagai petani kopi dengan dominasi varietas Arabika. Produksi kopi Arabika yang dihasilkan dari Tanah Gayo merupakan yang terbesar di Asia.

Adapun penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 yang mendapatkan biji Arabika mocca dari Arabia ke Batavia (Jakarta). Kopi Arabika itu pertama-tama ditanam dan dikembangkan di daerah Jatinegara, Jakarta, menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi. Penyebaran selanjutnya dari tanaman kopi tersebut sampai juga ke kawasan dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Dari masa kolonial Belanda hingga sekarang Kopi Gayo khususnya telah menjadi mata pencaharian pokok mayoritas masyarakat Gayo bahkan telah menjadi satu-satunya sentra tanaman kopi kualitas ekspor di daerah Aceh Tengah. Selain itu bukti arkeologis berupa sisa pabrik pengeringan kopi masa kolonial Belanda di Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah telah memberikan kejelasan bahwa kopi pada masa lalu pernah menjadi komoditas penting perekonomian.

Cita rasa
Kopi arabika dari dataran Tinggi Gayo, telah dikenal dunia karena memiliki citarasa khas dengan ciri utama antara lain aroma dan perisa yang kompleks dan kekentalan yang kuat. International Conference on Coffee Science, Bali, Oktober 2010 menominasikan kopi Dataran Tinggi Gayo ini sebagai the Best No 1, dibanding kopi arabika yang berasal dari tempat lain.

id.wikipedia.org

Seni Rapa'i - Seni Debus Aceh


Rapa'i (Alat musik pengiring debus Aceh)


Kesenian tradisional ini hampir dimiliki oleh setiap Kecamatan di Aceh Selatan. Kesenian ini merupakan gabungan antara seni, agama dan ilmu metafisik (ilmu kebal). Kelompok kesenian ini mempunyai pemain minimal 10 orang yang dipimpin oleh seorang yang biasa disebut khalifah. Kesenian ini menggunakan alat musik yang disebut dengan rapa’i (gendang yang terbuat dari kulit kambing). Kesenian ini umumnya melagukan syair-syair dan zikir dan pujian kepada Allah Sang Pencipta dan kepada  Rasulullah SAW sesuai dengan ajaran Islam.

Asal-usulnya:
Konon, menurut riwayat kaum sufi (abad ke 7 H), Rapa’i Dabus ini berasal dari nyanyian-nyanyian (puisi yang berbentuk doa) yang dibacakan oleh seorang mursyid (pemimpin tarikat) dalam ajaran tasawuf-nya. Mursyid ini membacakan doa dan zikir dengan suara yang merdu dan lemah lembut dalam waktu lama, sampai dirinya dan pengikutnya tak sadarkan diri (fana billah). Fana billah inilah yang jadi tujuan untuk mencapai kepuasan batin dan  kelezatan jiwa.

Kadang-kadang dalam doa dan munajat mereka kerap terdengar seruan kepada para Malaikat Allah agar segera turun dari langit untuk membimbing mereka yang sedang berjalan menuju makam Makhrifatullah. Rapa’i Zikir  masuk ke Aceh bersamaan dengan masuknya agama Islam pada akhir tahun 1 Hijriyah atau awal tahun 2 Hijriyah. Waktu itu pemuka-pemuka agama Islam menggunakan gendang (rapa’i) sambil berzikir atau bersalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bukan untuk berdebus.

Untuk pembacaan puisi, salawat dan doa  agar lebih bersemangat, digunakanlah alat berupa gendang yang ditabuh berirama oleh para murid-murid tasawuf untuk mengiringi pembacaan puisi doa itu oleh Mursyid. Biasanya kelompok tasawuf tersebut membuat posisi melingkar. Mereka berdiri melingkari sang Mursyid yang berada di tengah-tengah. Kemudian bergerak pelan-pelan dari kanan ke kekiri sambil mengikuti doa yang dibacakan oleh Mursyid sembari memukul gendang oleh beberapa orang muridnya.

Adakalanya gendang dipukul cepat sesuai irama pembacaan puisi doa dan adakalanya dipukul lambat. Suara mereka terdengar serentak dan merdu sesuai dengan bunyi gendang, tidak membentak-bentak, karena maklum kelompok sufi (orang suci) ini sedang mermunajat (mujahadah) kepada Al-Khalik yang akan menurunkan Nur kelembutan-Nya kepada setiap hamba-Nya yang sedang berjalan menuju makam-Nya.

Menurut sejarahnya, kelompok Sufi ini sebelum melakukan kegiatan mujahadah secara bersama itu, terlebih dahulu berwuduk serta berpakaian sopan serta bersih  dan biasanya dilakukan setelah shalat Ashar di dalam ruangan tertutup dan tidak dipertontonkan kepada umum (untuk menghindari sifat riya, takabur dan pamer taat).   

Lantas, pada akhir-akhir ini saja (awal abad 19 M oleh generasi berikutnya menyalahgunakan fungsi zikir dengan gendang (rapa’i) ini  kepada hal-hal yang memamerkan ilmu kebal kepada khalayak. Bahkan sudah sangaja dipertontonkan atau dilombakan. Padahal kesenian Zikir Gendang (Rapa’i) ini hanya sebagai alat/media orang-orang suci untuk berjalan dengan ajaran tarikat menuju fana billah (asyik dan masyuk).

Kalaupun ingin juga zikir dalam lagu  Rapa’i Dabus itu digunakan untuk pengebalan diri, biasanya para leluhur kita dahulu memanfaatkan ilmu itu saat mereka berperang dengan Belanda atau kaum kafir yang menjajah negeri mereka.

Para leluhur yang mengamalkan tarikat Naqsyabandy, atau tarikat lainnya, kebanyakan mereka tidak pernah merasa takut kepada kaum kafir, meskipun mereka harus mati syahid saat berperang di medan laga, demi berjuang mempertahankan tanah air, bangsa dan agama. Justru itu tak heran jika rakyat berperang melawan Belanda, selalu yang jadi pemimipin (khalifah/komandannya) terdiri dari kaum ulama yang taat seperti: Teungku Chik Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari,  dan yang lain-lain.

Dikisahkan sewaktu Tengku Amir, Teuku Cut Ali dan Panglima Rajo Lelo, Tengku Ali Usuh dan Mat Sisir  berperang melawan pasukan Belanda pada abad 19  adalah lima orang pejuang dari Aceh Selatan yang memiliki ilmu kebal, tapi karena sedikit terbesit rasa riya pada diri pejuang bangsa itu (karena memaki Belanda saat berperang) maka akhirnya sebagian  mereka tewas akibat kena peluru dan senjata tajam. Tengku Amir dari Tapaktuan tewas tertembak di Pegunungan Meukek dan dikebumikan di pinggir lapangan bola kaki Kota Naga Tapaktuan, Teuku Cut Ali tewas di Alue Bebrang – Lawesawah – Kluet Timur, kepalanya dipotong dan dibawa dan ditanamam di Suaq Bakung – Kluet Selatan.

Sebutan Khalifah dalam Debus  
Secara logika agama, pemakaian sebutan  khalifah sebenarnya khusus kepada orang-orang tertentu yang sanggup memikul warisan para Nabi dan mampu mengayomi kesejahteraan ummat manusia  dengan bimbingan Nur Ilahi. Itulah dia Khalifah yang sebenarnya atau bisa juga sebutan itu dipikul oleh seorang Wali Allah yang terpilih (Aulia/Waliyullah).  Tetapi dalam kesenian tradisional Rapa’i Dabus, khalifah adalah sang pemimpinnya – yang bertanggung jawab pada kelompok dabus jika terjadi hal-hal yang tidak diingini.  

Mulai dipopulerkan:

Rapa’i Dabus (bahasa Aceh – daboih), merupakan seni tari kesaktian yang digemari sebagian masyarakat Aceh Selatan sejak Belanda datang ke Aceh. Biasanya dipertunjukan pada acara keramaian, pesta perkawinan, sunat rasul dan malam resepsi kesenian rakyat pada HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.

Dulu, di Tapaktuan pada awal abad XIX M, Kesenian Rapa’i Dabus ini mulai dipertandingkan antara daerah (Kewedanaan) oleh Pemerintah Belanda pada Hari HUT Kelahiran  Ratu Wihelmina. Padahal semasa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636) Kesenian Rapa’i Dabus ini sangat dilarang ditampilkan. Karena waktu itu Syekh Abdurrauf (Syiah Kuala) yang menjadi penasehat Sulthan Iskandar Muda mengharamkan permainan Rapa’i Dabus ini dengan alasan, pada kesenian Rapa’i Dabus terdapat beberapa hal yang melanggar syariat Islam yang kaffah, antara lain adalah:
a.    menampak-nampakkan sikap takabbur (dasarnya dari firman Allah SWT dalam surat Al-Mukmin    ayat 72    yang berbunyi: Fabik samast wal mutakabbiriiin, artinya: “maka neraka jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri  (takabbur’).

b.   mengundang sikap sombong/membanggakan diri kepada manusia (karena sengaja dipertontonkan pada khalayak). Agama Islam sangat melarang penganutnya menyombongkan diri karena suatu  kelebihan yang dipunyai, padahal yang berhak sombong seharusnya hanya Allah. Sombong itu adalah selendang Allah yang tidak bisa dipakai oleh manusia. Bila dipakai juga Allah akan marah dan murka sebagaimana ancaman-Nya di dalam Al-Qur’an.

 c.     mengundang sikap ingin bersaing, berlomba-lomba  mengalahkan kelebihan dan kesaktian lawan. Kemudian memberi peluang untuk berbuat curang (khianat) kepada lawan dalam berdabus. Sehingga tak jarang peserta rapa’i  dabus yang terluka bersimbah darah (menjadi korban kecurangan pihak lawan).

d.    diragukan anggota (peserta) Rapa’i Dabus tidak mampu bersikap tawaduk dan wara’ (rendah hati) dalam pergaulan sehari-hari serta tidak suka menampak-nampakkan (menonjol-nonjolkan)  kesaktiannya/kekebalan  di sembarang tempat.  Padahal sikap wara’ dan tawaduk serta rendah hati, sabar,  menyembunyikan/merahasiakan kekeramatan  (kalau dalam rapa’i dabus disebut sakti), dan tidak riya adalah tuntunan Islam yang kaffah. Dasarnya adalah firman Allah dalam surat Al Ma’un ayat 6 yang berbunyi: “Alladziinahum yuraaa-un”.   Artinya:  “yaitu orang-orang yang berbuat riya”. Tafsir dari ayat ini: Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di  mata masyarakat.

e.    Rapa’i Dabus akhirnya akan mengundang sikap permusuhan, karena masing-masing pihak yang bertanding dipastikan ingin lebih dari lawannya; ingin lebih sakti, lebih hebat atau ingin lebih dipuji oleh para penonton, yang akhirnya jika sudah merasa serba lebih akan tersemat rasa ujub (mengagumi diri), bila sudah tersemat dalam hati rasa ujub, maka timbul rasa merendahkan atau meremehkan orang lain. Agama Islam tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Maka dari dasar-dasar itulah Syekh Abdurrauf (Syiah Kuala) mengharamkan permainan Rapa’i Dabus ini pada zaman keemasan Kerajaan Sulthan Iskandar Muda!  

Cara Permainan Rapa’i Dabus
Dalam permainan Rapa’i Dabus, selain menggunakan alat musik gendang, juga diperlukan alat-alat senjata tajam, antara lain yaitu:
  1. Buah dabus
  2. Rencong
  3. Pedang
  4. Parang
  5. Pisau belati
  6. Batu bulat yang beratnya 5 – 10 kg
  7. Rantai
  8. Besi per mobil
  9. Gergaji chain-saw (alat penebang pangkal pohon besar).


Kesenian Rapa’i Dabus dimainkan sekitar 20 -30 orang dengan formasi duduk melingkar, masing-masing memegang sebuah rapa’i (gendang). Kelompok ini dipimpin oleh seorang “khalifah) yaitu orang yang menguasai seluk-beluk perdabusan, termasuk menguasai ilmu kebal/tahan senjata tajam.

Begitu sya’ir-sya’ir itu dilantunkan, sang pemimpin atau salah seorang dari anggota dabus masuk ke dalam lingkaran tersebut dan menyalami (berjabat tangan) dengan sang khalifah serta anggota-anggota dabus yang sedang memukul gendang satu persatu.

Kemudian dengan senjata tajam di tangan, dia melakukan gerakan-gerakan tari secara konsentrasi mengikuti irama gendang sembari menyimak doa-doa yang diyakini di dalam hati. Bila suara rapa’i telah membahana gemuruh, anggota yang sedang memegang senjata tajam itu mulai meloncat sambil meliuk-liukkan tubuhnya sambil menikam paha, tangan, perut atau kepalanya.

Dan bahkan pemain itu sangat beraninya memotong-motong lidahnya serta menggorok lehernya sendiri malah mencongkel biji matanya dengan ujung pisau atau rencong di tangannya. Semua yang ia lakukan bisa terjadi secara sakti; yakni paha, perut, tangan yang ditikamnya itu tahan tikam atau tidak terluka sama sekali. Bahkan parang tajam sengaja digorokkan ke leher anggota lain, tetapi juga kebal dan malah tampak rencong, pisau atau senjata tajam lainnya itu tampak bengkok dan patah saat  dihantamkan kebahagian tubuh mereka.

Saat itulah menarik dan serunya permainan Rapa’i Dabus ini. Ada juga khalifah dan anggota dabus beratkrasi melilitkan rantai besi panas yang sedang memerah ke leher, badan atau ke pinggang mereka. Ada juga permainan memukul diri dengan rantai secara beruntun ke kepala serta menari-nari dalam bloh apui (unggunan api), atau menimpakan batu bulat yang beratnya 5– 10 kg ke atas kepala. Atau membengkokkan besi per sampai patah dengan tangan. Serta menggergaji perut mereka dengan chain-saw. Kesimpulannya, semua atraksi mereka tidak mempan oleh benda tajam atau kebal dari pukulan dan hempasan benda berat sekalipun.  

Di kalangan anggota rapa’i dabus, karena kesenian ini merupakan pertunjukan kesaktian, maka masing-masing  mereka sangat ditekankan agar jangan menyombongkan diri dan angkuh terhadap siapapun serta jangan ada niat-niat tertentu (bersifat merugikan orang lain). Jika pantangan ini dilanggar, maka pada diri anggota rapa’i dabus akan terjadi mala petaka, ia bisa tersungkur bersimbah darah dengan luka yang sangat dalam  akibat tusukan dia sendiri. Atau akan celaka pada waktu-waktu tertentu dan semua ilmu kebal yang diyakininya  akan sirna sekejab dengan hal-hal yang sepele. Karena yang Akbar  (besar) adalah Allah, bukan manusia!  

Ada 2 (dua) jenis kesenian Rapa’i Dabus yang dikenal di Aceh Selatan yaitu: Dabus Rapai Ngadap Yaitu kesenian dabus yang hanya menggunakan alat musik rapa’i tanpa zikir. Acara kesenian ini umumnya dilakukan pada malam Jum’at di Meunasah (Balai Pertemuan Desa). Kedua Dabus Rapa’i Biasa Yaitu kesenian dabus yang ditampilkan sebagai hiburan para perayaan, peringatan dan acara-acara lainnya.

Memang orang yang kebal senjata tajam atau peluru terdapat di mana-mana karena mereka memang mengamalkan ilmu kebal tersebut dengan mengkaji asal usul besi  atau asal usul benda lain, bahkan mereka mengetahui asal usul sesuatu benda malah diyakini sesuatu benda itu mempunyai nyawa. Nah dengan mengutarakan asal usul benda tersebut dalam pembacaan doa atau mantera, benda tersebut patuh dan tunduk kepada orang tadi, maka itulah benda itu bisa bengkok, patah atau pecah – menurut kemauan orang yang memerintahkan.

Logikanya memang kepada Nabi Adam Allah SWT mempercayakan mandat untuk menguasai nama-nama benda di dunia bukan kepada malaikat atau iblis, bahkan iblis sendiri disuruh bersujud kepada Nabi Adam, namun iblis membangkang hingga hari kiamat. Sedangkan Nabi Adam bersama keturunannya dipercayakan oleh Allah untuk menjadi Khalifah (pemimpin) di muka bumi dengan firman-firman-Nya yang banyak kita jumpai dalam Kitab Suci Al Qur’anul Karim.   

Maka dengan menggali sejarah itulah lahir ilmu kebal dan diamalkan oleh orang dengan tujuan sebagai tangkal tubuh dalam menghadapi binatang buas dan benda tajam – tentu semuanya itu setelah mendapat izin dan reda dari Allah SWT. Karena semua ilmu asalnya adalah dari Allah SWT – termasuk ilmu berdebus. Pada zaman penjajahan Ilmu ini semata-mata dijadikan sebagai perlengkapan perang menghadapi musuh di meda laga.

Adapun untuk mengetahui mukmin-mukminat yang mengamalkan ilmu kebal ini dia selalu taat dan rendah hati, penyabar dan suit menyakiti perasaan sesama muslim, tiap perbuatannya ikhlas dan kukuh/istiqamah pendirian tidak tinggi hati, tidak sombong, ria dan takbur.

Jika pun terlanjur ria, mereka cepat-cepat mohon ampun dengan memperbanyak istighfar dan zikir. Karena bagi yang mengamalkan ilmu kebal ini sangat takut sekali mati dalam keadaan hatinya sedang sombong dan ujub! Justru tiap detik mereka selalu berdoa mohon ampun kepada Allah Azza Wa Jalla yang Menguasai seluruh kekuatan! Aamiiin!  *** (Darul Qutni Ch Sekretaris Komnas-WI Kabupaten Aceh Selatan)

acehprov.go.id

Tari Aceh - Tari Guel Aceh



Tari guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Aceh. Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekadar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri.

Dalam perkembangannya, tari guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat. Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah kelahirannya. Maka rentang 90-an tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah surveyor dalam dan luar negeri.

Pemda Daerah Istimewa Aceh ketika itu juga menerjunkan sejumlah tim dibawah koodinasi Depdikbud (dinas pendidikan dan kebudayaan), dan tersebutlah nama Drs Asli Kesuma, Mursalan Ardy, Drs Abdrrahman Moese, dan Ibrahim Kadir yang terjun melakukan survey yang kemudian dirasa sangat berguna bagi generasi muda, seniman, budayawan untuk menemukan suatu deskripsi yang hampir sempurna tentang tari guel. Sebagian hasil penelitian ini yang saya coba kemukakan, apalagi memang dokumen/literatur tarian ini sedikit bisa didapatkan.

id.wikipedia.org

Tari Aceh - Tari Bines Aceh



Tari Bines merupakan tarian tradisional yang berasal dari kabupaten Gayo Lues. Tarian ini muncul dan berkembang di Aceh Tengah namun kemudian dibawa ke Aceh Timur. Menurut sejarah tarian ini diperkenalkan oleh seorang ulama bernama Syech Saman dalam rangka berdakwah.Tari ini ditarikan oleh para wanita dengan cara duduk berjajar sambil menyanyikan syair yang berisikan dakwah atau informasi pembangunan. Para penari melakukan gerakan dengan perlahan kemudian berangsur-angsur menjadi cepat dan akhirnya berhenti seketika secara serentak.

Tari ini juga merupakan bagian dari Tari Saman saat penampilannya. Hal yang menarik dari tari Bines adalah beberapa saat mereka diberi uang oleh pemuda dari desa undangan dengan menaruhnya diatas kepala perempuan yang menari.

Tari Bines biasanya di akhir acara akan di adakan pengambilan bunga dari kepala yang di sebut orang gayo adalah Nuet Tajuk waktu pengambilan bunga para penari bines biasanya diberikan uang sebagai ganti bunganya, ini merupakan sebagai harga untuk bunga tersebut.

id.wikipedia.org

Tari Aceh - Tari Ula Ula Lembing Aceh


Asal usul tari Ula Ula Lembing 
Tari Ula Ula Lembing merupakan salah satu tarian daerah dari Kabupaten Aceh Tamiang. Menurut beberapa pakar budaya Asal usul tari ula ula lembing ditarikan dengan melingkar menyerupai ular, dengan gerakan yang lincah dan dinamis. Tarian ini ditarikan oleh 12 orang atau lebih berputar-butar ke sekeliling panggung bagai ular. Tari Ula Ula Lembing harus dibawakan dengan penjiwaan yang lincah dan ceria. Budaya merupakan suatu kebiasaan atau prilaku masyarakat di daerah tertentu. 

Tonggak terjadinya Asal usul tari ula ula lembing
Budaya juga merupakan suatu proses yang dinamis serta memiliki nilai nilai dan norma – norma kehidupan yang berlaku dalam tata cara pergaulan masyarakat tertentu. Dari budaya tersebut maka terciptalah ragam ragam kebiasaan masyarakat, diantaranya bahasa daerah, kesenian, tari, musik, dan upacara adat, semua ini adalah hasil dari bagian budaya terjadinya Asal usul tari ula ula lembing. Budaya juga bisa memberikan identitas suatu daerah, dimana pilar pilar suatu wilayah diantaranya adalah budaya. Agar dapat menjadi tonggak utama terbentuknya suatu wilayah secara utuh. Contohnya daerah Aceh yang memiliki kesenian Tari Saman, yang sudah dikenal di seluruh Indonesia dan menjadi sebuah identitas bahwa Aceh memiliki tarian Saman. Begitu juga dengan daerah lain seperti Sumatra Utara yang dikenal dengan tarian Tor tor yang merupakan tonggak terjadinya Asal usul tari ula ula lembing

Sejarah dan Asal usul tari ula ula lembing
Asal usul tari ula ula lembing di Aceh Tamiang adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nangro Aceh Darusalam, termasuk Kabupaten ketujuh dari dua puluh tiga Kabupaten di Provinsi Aceh. Kabupaten ini terletak di ujung perbatasan Provinsi Aceh yang lebih kurang 250 km dari kota Medan. Meskipun Aceh Tamiang termasuk dalam bagian Kabupaten Nangro Aceh Darusalam, tetapi Aceh Tamiang memiliki budaya yang berbeda dengan budaya Aceh. Budaya Aceh Tamiang ini belum terlalu dikenal oleh masyarakat Aceh dan di luar Aceh, hal ini disebabkan karena posisinya sebagai transit antara dua daerah Aceh dan Medan sehingga timbul banyak suku di Aceh Tamiang. Yang dimana suku lokal terdiri dari Tamiang, Jawa, Batak, Gayo, Padang dan suku lainya, Arab dan Tiong hoa. Sementara itu pengaruh dari aspek industri yang ada di wilayah Aceh Tamiang sangatlah kuat, untuk mengundang masyarakat luar untuk tinggal dan hidup di wilayah Aceh Tamiang ini. Akibat dari banyak suku tersebut maka terjadilah pengaruh budaya secara umum. Salah satunya adalah penggunaan bahasa, dimana bahasa Indonesia menjadi alat komunikasi utama.
Asal usul tari ula ula lembing di aceh tamiang

Diantara semua suku, disisilain, kondisi ini menyebabkan Asal usul tari ula ula lembing justru pudar di daerah sendiri. Budaya di Aceh Tamiang tidak jauh berbeda dengan budaya Melayu, begitu juga dengan bahasa, kesenian, ragam hias dan upacara upacara adat di Aceh Tamiang. Salah satu kesenian adalah tari Ula ula lembing . Tarian Ula ula Lembing ini termasuk tarian gembira yang biasanya di gunakan dalam acara perkawinan, tetapi tarian ini bukan lah termasuk ritual adat perkawinan Aceh Tamiang. Asal usul tari ula ula lembing ini sendiri memiliki arti arti di setiap lirik dan pergerakanya, dimana manusia harus bekerja keras dan tidak cepat putus asa dalam mendapatkan pasangan hidupnya. Dalam hal ini pemerintahan Aceh Tamiang melakukan program Pendidikan dan seni budaya, bagaimana cara untuk mengembalikan kebudayaan Aceh Tamiang ini dimata masyarakat Tamiang, Aceh dan Indonesia.

visitacehdarussalam.blogspot.co.id

Tari Aceh - Tari Didong Aceh



Didong adalah sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Salah seorang seniman yang peduli pada kesenian ini adalah Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.

Makna
Ada yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah.

Fungsi
Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Para sheh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.

Perkembangan
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian didong.

Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong denga saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.

Dewasa ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.

id.wikipedia.org

Tari Aceh - Tari Pho Aceh



Tari Pho adalah tari yang berasal dari Aceh. Perkataan Pho berasal dari kata peubae, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari rakyat hamba kepada Yang Mahakuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom.

Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Mahakuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

id.wikipedia.org

Tari Aceh - Tari Rapai Geleng Aceh


Rapa'i Geleng adalah sebuah tarian etnis Aceh yang berasal dari wilayah Aceh Bagian Selatan tepatnya Manggeng, yang sekarang masuk kawasan Kabupaten Aceh Barat Daya. Rapa'i Geleng dikembangkan oleh seorang anonim di Aceh Selatan. Permainan Rapa'i Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat. Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair yang dinyanyikan, kostum dan gerak dasar dari unsur Tari Meuseukat.

Jenis tarian ini dimaksudkan untuk laki-laki. Biasanya yang memainkan tarian ini ada 12 orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang dibawakan adalah sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi.

Kostum yang dipakai berwarna hitam kuning berpadu manik-manik merah.

Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapa'i Geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Aceh Selatan. Saat itu tarian ini dibawakan pada saat mengisi kekosongan waktu santri yang jenuh usai belajar. Lalu, tarian ini dijadikan sarana dakwah karena dapat membuat daya tarik penonton yang sangat banyak.

Tarian Rapai Geleng memiliki 3 babak yaitu:

Saleuem (salam)
Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama)
Lani (penutup)
Gerakan tarian ini diikuti tabuhan rapa'i yang berirama satu-satu, lambat, lama kemudian berubah cepat diiringi dengan gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke kanan. Gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat.

Pada dasarnya, ritme gerak pada tarian rapai geleng hanya terdiri dalam empat tingkatan; lambat, cepat, sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur karakteristik masyarakat yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatera, berisikan pesan-pesan pola perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada eksistensi kehidupan agama, politik, sosial dan budaya mereka.

Pada gerakan lambat, ritme gerakan tarian rapa'i geleng tersebut memberi pesan semua tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran yang matang, penyamaan persepsi dan kesadaran terhadap persoalan yang akan timbul di depan sebagai akibat dari keputusan yang diambil merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan saksama. Maaf dan permakluman terhadap sebuah kesalahan adalah sesuatu yang mesti di berikan bagi siapa saja yang melakukan kesalahan. Pesan dari gerak beritme lambat itu juga biasanya diiringi dengan syair-syair tertentu yang dianalogikan dalam bentuk-bentuk tertentu.

Kata “raseuki” yang bermakna “rezeki” dalam syair di atas, merupakan simbol dari peruntungan. Bagi masyarakat Aceh, orang yang melakukan perbuatan baik kepada mereka dimaknakan sebagai sebuah keberuntungan. Makna sebaliknya, ketika orang melakukan perbuatan jahat, maka masyarakat Aceh mengartikan ketakberuntungan nasib mereka, dan ketakberuntungan itu merupakan permaafan.

Gerakan beritme cepat adalah gerak kedua, sesaat pesan yang terkandung dalam gerakan beritme lambat namun sarat makna usai dituturkan. Pada gerakan ini, pesan yang disampaikan adalah pesan penyikapan ketika perbuatan jahat, yang dimaknakan sebagai ketakberuntungan nasib, kembali dilakukan oleh orang atau institusi yang sama. 

Gerakan beritme cepat ini tak lama, kemudian disusul dengan gerakan tari beritme sangat cepat mengisyaratkan chaos menjadi pilihan dalam pola perlawanan tingkat ketiga. Sebuah perlawanan disaat protes keras tak diambil peduli. Tetabuhan rapa-i pada gerakan beritme sangat cepat inipun seakan menjadi tetabuhan perang yang menghentak, menghantam seluruh nadi, membungkus syair menjadi pesan yang mewajibkan perlawanan dalam bentuk apapun ketika harkat dan martabat bangsa terinjak-injak. Cuplikan sajak “perang” nya (alm) Maskirbi yang biasa dilantunkan menjadi syair dalam gerakan beritme cepat pada tarian rapai geleng ini bisa menjadi contoh sederetan syair-syair yang dijadikan pesan.

Pada titiknya, semua gerakan tadi berhenti, termasuk seluruh nyanyian syair. Ini merupakan gerakan akhir dari tarian. Gerakan diam merupakan gerakan yang melambangkan ketegasan, habisnya semua proses interaksi.

id.wikipedia.org

Tari Aceh - Tari Ranup Lampuan Aceh


Ranup Lampuan adalah kesenian tari yang berasal dari Nangroe Aceh Darussalam. Tari ini merupakan visualisasi dari salah satu filosofi hidup warga Aceh, yakni menjunjung keramah-tamahan dalam menyambut tamu. Gerakan demi gerakan dalam Ranup Lampuan menggambarkan prosesi memetik, membungkus, dan menghidangkan sirih kepada tamu yang dihormati, sebagaimana kebiasaan menghidangkan sirih kepada tamu yang berlaku dalam adat masyarakat Aceh. Menilik karakteristiknya, atas dasar tersebut, tari ini digolongkan ke dalam jenis tari adat/upacara.
Sejarah Ranup Lampuan
Ranup (atau ranub) dalam Bahasa Aceh memang berarti sirih, sementara lampuan terdiri dari dua kata, yakni (lam) yang artinya dalam, dan (puan) yang berarti tempat sirih khas Aceh. Tarian ini diciptakan oleh Yusrizal (Banda Aceh) kurang lebih pada 1962 (Burhan, 1986; 141). Tak lama setelah populer di Banda Aceh, tari ini berkembang di berbagai daerah lainnya di Nangroe Aceh Darussalam. 
Selain Ranup Lampuan, koregrafer tersohor Aceh ini, bersama grup tari Pocut Baren, juga banyak menciptakan tari-tari tradisional Aceh lainnya, seperti Meusare-sare, Bungong Sieyueng-yueng, Tron U Laot, Poh Kipah, Tari Rebana, dan Sendratari Cakra Donya Iskandar Muda,Pada awalnya, tari Ranup Lampuan yang dibawakan oleh 7 penari perempuan ini diciptakan dengan iringan musik modern (band atau orkestra), namun dalam perkembangannya, Ranup Lampuan lebih sering diiringi musik tradisional khas Aceh, “Serune Kalee”, sebagaimana diusulkan sejumlah pihak pada waktu itu.

Makna dalam Ranup Lampuan
Setiap gerakan dan atribut dalam tarian ini mengandung makna simbolik. Sebagai gambaran, seluruh gerakan dalam tari ini dibawakan dengan tertib dan lembut sebagai ungkapan keikhlasan menerima tamu. Terdapat juga gerakan salam-sembah dengan tangan mengayun ke kiri, ke kanan, dan ke depan sebagai perlambang kekhidmatan mempersilakan para tamu untuk duduk. Lantas, sirih dalam puan pun dihidangkan secara nyata oleh para penari kepada tamu yang mereka sambut. Dalam masyarakat Aceh, sirih dan puan merupakan perlambang kehangatan persaudaran. Selain sebagai hidangan penyambut tamu, ranup atau sirih mempunyai peran yang penting dalam ritus-ritus sosial masyarakat Aceh, sehingga ia selalu ada dalam berbagai prosesi, dari mulai pernikahan, sunatan


kebudayaanindonesia.net

Tari Aceh - Tari Rateb Meuseukat Aceh



Tari Rateb Meuseukat adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Aceh. Tarian ini biasanya ditarikan oleh para penari wanita dengan posisi duduk dan memainkan gerakan tangan yang cepat sebagai ciri khasnya. Tarian ini memang sekilas hampir mirip dengan Tari Saman, namun yang membedakan adalah gerakan, syair lagu, pengiring, danpenarinya. Tari Rateb Meuseukat merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Aceh dan sering ditampilkan di berbagai acara seperti acara adat, perayaan, dan acara budaya.

Sejarah Tari Rateb Meuseukat
Menurut sejarahnya, tari meuseukat pertama kali diciptakan gerak dan gayanya oleh anakTeungku Abdurrahim alias Habib Seunagan (Nagan Raya). Sedangkan syairnya diciptakan oleh Teungku Chik Di Kala, yaitu seorang ulama di Saunagan yang hidup pada abad ke XIX. Pada mulanya Tari Rateb Meuseukat ini digunakan sebagai media dakwah yang sering ditampilkan atau dimainkan setelah para pelajar selesai mengaji pada malam hari.

Tari Rateb Meuseukat ini awalnya banyak berkembang di daerah Meudang Ara Rumoh Baro, di kabupaten Aceh barat daya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, tarian ini mulai berkembang dan mulai dikenal oleh masyarakat luas. Selain itu, tarian ini juga mulai sering ditampilkan di berbagai acara seperti upacara keagamaan, upacara adat, acara budaya, dan lain-lain.

Fungsi Dan Makna Tari Rateb Meuseukat
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Tari Rateb Meuseukat ini dulunya difungsikan sebagai media dakwah. Namun tarian ini kemudian mulai berkembang dan juga difungsikan sebagai tarian pertunjukan. Walaupun begitu, unsur dan nilai-nilai agama juga masih tetap dipertahankan, bahkan menjadi ciri khas tarian ini. Tari Rateb Meuseukat ini dimaknai sebagai pujian terhadap Tuhan dan ungkapan rasa syukur atas apa yang tuhan berikan kepada mereka. Hal ini juga sangat terlihat dari syair-syair dan gerakan mereka saat menari.

Pertunjukan Tari Rateb Meuseukat
Tari Rateb Meuseukat biasanya ditampilkan oleh para penari wanita. Untuk jumlah penari, biasanya terdiri dari 6- 12 orang penari dan 2 orang beperan sebagai pelantun syair. Dalam pertunjukannya, para penari menggunakan busana adat dan menari dengan gerakannya yang khas diiringi oleh musik pengiring dan lantunan syair yang dibawakan oleh pengiring vocal atau pelantun syair.
Gerakan dalam Tari Rateb Meuseukat ini biasanya didominasi oleh gerakan tangan para penari. Selain itu diselingi juga dengan gerakan kepala, dan bahu saat menoleh kekanan dan kekiri. Gerakan-gerakan tersebut dimainkan dengan posisi duduk, yang menjadi salah satu ciri khas tarian ini. Banyak juga yang mengatakan, bahwa tarian ini hampir mirip dengan Tari Saman, namun yang membedakan  terutama adalah, para penarinya, bahasa syair, gerakan, dan musik pengiring.

Pengiring Tari Rateb Meuseukat
Dalam pertunjukannya, Tari Rateb Meuseukat biasanya diiringi oleh musik tradisional sepertiRapa’i dan Geundrang. Selain itu, tarian ini juga diiringi oleh lantunan syair yang dibawakan oleh pengiring vocal. Lantunan ini berisi tentang sanjungan serta pujian-pujian terhadap Tuhan yang dibawakan dengan bahasa asli masyarakat Aceh.

Kostum Tari Rateb Meuseukat
Kostum yang digunakan dalam pertunjukan Tari Rateb Meuseukat biasanya adalah pakaian adat. Para penari biasanya menggunakan pakaian seperti baju kemeja putri, celana panjang, dan kain sarong yang dikenakan dipinggang. Pada bagian kepala biasanya ditutup dengan hijab dan dihias dengan ikat kepala serta bunga-bunga sebagai pemanis. Untuk warna kostum Tari Rateb Meuseukat ini biasanya berwarna warni, terutama warna cerah seperti kuning, merah muda, hijau muda dan biru muda.

Perkembangan Tari Rateb Meuseukat
Dalam perkembangannya, tari meuseukat masih terus dilestarikan dan dikemabangkan hingga sekarang. Berbagai kreasi dan variasi dalam segi gerak, kostum, dan musik pengiring juga sering ditambahkan di setiap pertunjukannya. Hal ini tentu dilakukan agar terlihat menarik, namun tidak menghilangkan ciri khas, keaslian, dan nilai-nilai didalamnya.

Tari Rateb Meuseukat kini tidak hanya ditampilkan sebagai media dakwah saja, namun juga sering ditampilkan di berbagai acara seperti, acara keagamaan, acara perayaan hari besar, dan acara adat. Selain itu tarian ini juga sering ditampilkan di berbagai acara seni dan budaya seperti, pertunjukan seni, festival daerah, dan acara budaya lainnya.


 negerikuindonesia.com

Kamis, 27 Oktober 2016

Tari Aceh - Tari Ratoh Duek Aceh



Tari Ratoh Duek adalah tarian dari provinsi Aceh. Tarian ini dilakukan oleh 11 wanita dan 2 syahie . Didampingi irama Islam , unsur-unsur tari terlihat begitu harmonis. Tari ini dibawakan dengan penuh semangat sebagai gambaran tentang interaksi kehidupan sehari-hari dan kekompakan masyarakat Aceh . Hal ini tercermin dalam harmoni antara penari saat mereka bertepuk tangan secara berirama . Tarian ini membutuhkan gerakan tari yang harmonis dan nyanyian , mencerminkan keharmonisan masyarakat Aceh.

Tari Ratoh Duek sangat populer di luar provinsi Aceh, namun tarian ini di luar Aceh seringkali dianggap sebagai Tari Saman[1]. Perbedaan tari Saman dengan Raeasi turunan dari Tari Saman. Ketika tari Saman ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia, maka sejak itu Tari Saman dilarang untuk dibawakan oleh wanita, tari Saman hanya boleh dibawakan oleh para lelaki dengan menggunakan pakaian khas Gayo. Tarian saman yang biasa dimainkan remaja putri di pesisir berubah menjadi ratoh duek. Dari ratoh duek kemudian berubah lagi menjadi Tari Rateb Meuseukat.

id.wikipedia.org

Tari Aceh - Tari Seudati Aceh



Tari Seudati adalah salah satu kesenian tari tradisional yang berasal dari Aceh. Tarian ini diyakini sebagai bentuk baru dari Tari Ratoh atau Ratoih, yang merupakan tarian yang berkembang di daerah pesisir Aceh. Tari Ratoh atau Ratoih biasanya dipentaskan untuk mengawali permainan sabung ayam, serta dalam berbagai ritus sosial lainnya, seperti menyambut panen dan sewaktu bulan purnama. Setelah Islam datang, terjadi proses akulturasi, dan menghasilkan Tari Seudati, seperti yang kita kenal hari ini.

Tarian ini pada mulanya berkembang di Desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang diasuh oleh seorang bernama Syeh Tam. Selanjutnya, tarian ini berkembang juga di Desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, dibawah asuhan Syeh Ali Didoh. Dalam perjalanannya, tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Timur, dan hari ini bahkan bisa ditemui di seluruh daerah Aceh.

Kata “seudati” berasal dari Bahasa Arab “syahadati” atau “syahadatain”, yang artinya pengakuan atas keesaan Allah dan pengakuan bahwa Muhammad adalah nabi utusan-Nya. Teori lain beranggapan bahwa “seudati” berasal dari kata “seurasi”, yang mengandung makna kompak dan harmonis. Oleh penganjur Islam zaman itu, Tari Seudati digunakan sebagai media dakhwah; untuk menyebarluaskan agama Islam. Berbagai cerita tentang persoalan-persoalan hidup dibawakan dalam tarian ini, dengan maksud agar masyarakat mendapat petunjuk pemecahan problem-problem hidup sehari-hari mereka. Selain sebagai media dakwah, Tari Seudati sekarang sudah menjadi pertunjukan hiburan rakyat.

Formasi dalam Tari Seudati
Seudati dibawakan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, yang terdiri dari seorang pemimpin yang disebut syeikh, satu orang pembantu syeikh, dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di bagian belakang, yang disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain mereka, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.

Karakteristik Tari Seudati
Tari Seudati tidak diiringi alat musik, melainkan hanya dengan beberapa bunyi yang berasal dari tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke lantai, dan petikan jari. Gerak demi gerak dibawakan mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Beberapa gerakan dalam tarian ini sangat dinamis dan penuh semangat. Namun ada juga beberapa bagian yang nampak kaku, tetapi sejatinya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan para penarinya. Kemudian, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan kesombongan sekaligus sikap kesatria.

Tarian ini tergolong dalam kategori Tribal War Dance atau tarian perang, yang mana muatan dalam syairnya bisa membangkitkan semangat. Hal inilah yang membuat tarian ini sempat dilarang di zaman Pemerintahan Belanda, karena dianggap bisa ‘memprovokasi’ para pemuda untuk memberontak. Tarian ini baru diperbolehkan lagi dipertunjukan setelah Indonesia merdeka.

Busana yang digunakan dalam Tari Seudati terdiri dari celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat warna putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang, rencong yang disematkan di pinggang, ikat kepala berwarna merah, dan sapu tangan berwarna.

kebudayaanindonesia.net/

Tari Aceh - Tari Tarek Pukat Aceh



Tari Tarek Pukat adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Aceh. Tarian ini biasanya dibawakan oleh sekelompok penari wanita yang menari dengan menggunakan tali sebagai atribut menarinya. Tari Tarek Pukat ini merupakan tarian menggambarkan tentang aktivitas para nelayan Aceh saat menangkap ikan di laut. Tarian ini biasanya sering ditampilkan di berbagai acara seperti upacara penyambutan, acara adat, dan acara budaya.

Sejarah Tari Tarek Pukat
Menurut sejarahnya, Tari Tarek Pukat terinspirasi dari tradisi menarek pukat atau tradisi menarik jala yang sering dilakukan oleh masyarakat Aceh, Khususnya masyarakat di daerah pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Konon kegiatan menarek pukat ini sudah dilakukan masyarakat pesisir Aceh sejak lama.

Saat menangkap ikan, mereka melepas dan menarik jala tersebut secara gotong royong. Setelah selesai menangkap ikan, hasil yang mereka dapatkan tadi akan dibagi-bagikan kepada warga yang ikut serta saat menarek pukat tadi.Tradisi tersebut kemudian direfleksikan dalam sebuah tari yang disebut dengan Tari Tarek Pukat ini.

Fungsi Dan Makna Tari Tarek Pukat
Selain difungsikan sebagai bentuk seni pertunjukan, Tari Tarek Pukat ini juga difungsikan sebagai bentuk apresiasi terhadap budaya dan tradisi masyarakat Aceh pesisir, khususnya saat menangkap ikan di laut. Tarian ini dimaknai sebagai gambaran sikap gotong royong dan semangat kebersamaan masyarakat yang direfleksikan dalam sebuah tarian.

Pertunjukan Tari Tarek Pukat
Tari Tarek Pukat biasanya ditampilkan oleh para penari wanita. Jumlah penari tersebut terdiri dari 7 orang penari atau lebih. Jumlah penari biasanya disesuaikan dengan kelompok atau sanggar masing-masing. Dalam pertunjukannya, penari dibalut dengan busana tradisional serta dihias dengan hiasan dan tata rias yang membuatnya terlihat cantik. Dengan diiringi kelompok pengiring, penari menari dengan gerakannya yang khas dan menggunakan tali sebagai atribut menarinya.

Dalam pertunjukannya, Tari Tarek Pukat biasanya diawali dengan gerakan seperti tarian Aceh pada umumnya, yaitu menari dengan posisi duduk sambil menepuk dada dan paha. Gerakan tersebut dilakukan secara kompak mengikuti irama lagu dan musik pengiring. Setelah itu dilanjutkan dengan saling mengaitkan tali satu sama lain.

Salah satu hal yang menarik dalam tarian ini adalah di akhir tarian, ketika selesai mengaitkan tali satu sama lain, penari akan menarik tali tersebut dan menjadi sebuah rangkaian jaring/jala. Bagi anda yang belum pernah menyaksikan tarian ini mungkin akan bingung, bagaimana cara mereka membuat jaring tersebut? Hal ini lah yang menjadi salah satu daya tarik Tari Tarek Pukat ini, dan tak jarang membuat para penonton takjub dan memberikan tepuk tangan yang meriah kepada para penari.

Pengiring Tari Tarek Pukat
Dalam pertunjukan Tari Tarek Pukat biasanya diiringi oleh musik tradisional yaitu sarune kale dan rapa’i. Tarian ini juga diiringi oleh lagu “tarek pukat” yang dinyanyikan oleh pengiring vocal. Namun, ada kalanya juga para penari menyanyikan beberapa bait lagu tersebut secara bersama sama. Saat menari, tempo gerakan penari juga harus disesuaikan dengan musik pengiring agar terlihat padu dan kompak.

Kostum Tari Tarek Pukat
Kostum yang digunakan para penari dalam pertunjukan Tari Tarek Pukat ini biasanya merupakan busana tradisional. Para penari biasanya menggunakan pakaian seperti baju lengan panjang, celana panjang dan kerudung pada bagian kepala. Selain itu penari juga menggunakan kain songket dan sabuk pada bagian pinggang dan hiasan kerudung sebagai pemanisnya.

Perkembangan Tari Tarek Pukat
Dalam perkembangannya, Tari Tarek Pukat masih terus dilestarikan dan dikembangkan hingga sekarang. Berbagai kreasi dan variasi dalam segi gerak, kostum, dan pengiring, juga sering ditampilkan di setiap pertunjukannya  agar terlihat menarik. Walaupun begitu, namun tidak mengilangkan ciri khas dan keasliannya.

Tari Tarek Pukat juga masih sering ditampilkan di berbagai acara seperti acara penyambutan, acara perayaan dan acara adat lainnya. Selain itu, tarian ini juga sering ditampilkan di berbagai acara budaya seperti pertunjukan seni, festival budaya dan promosi pariwisata. Hal ini dilakukan sebagai usaha melestarikan dan memperkenalkan kepada generasi muda serta masyarakat luas akan Tari Tarek Pukat ini.

negerikuindonesia.com

Tari Aceh - Tari Saman Aceh



Tari Saman adalah sebuah tarian suku Gayo (Gayo Lues) yang biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Gayo. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa literatur menyebutkan tari Saman di Aceh didirikan dan dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo di Aceh Tenggara. Tari Saman ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia dalam Sidang ke-6 Komite Antar-Pemerintah untuk Pelindungan Warisan Budaya Tak benda UNESCO di Bali, 24 November 2011.

Tari saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.Sebelum saman dimulai yaitu sebagai mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua cerdik pandai atau pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) atau nasihat-nasihat yang berguna kepada para pemain dan penonton.

Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama dan kontinu, pemainnya terdiri dari pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut dapat juga dipentaskan, dipertandingkan antara group tamu dengan grup sepangkalan (dua grup). Penilaian ditititk beratkan pada kemampuan masing-masing grup dalam mengikuti gerak, tari dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak lawan.

Nyanyian para penari menambah kedinamisan dari tarian saman. Cara menyanyikan lagu-lagu dalam tari saman dibagi dalam 5 macam :
1. Rengum, yaitu auman yang diawali oleh pengangkat.
2. Dering, yaitu regnum yang segera diikuti oleh semua penari.
3. Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
4. Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak

5. Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.

kebudayaanindonesia.net