Rabu, 02 November 2016

Syeikh Muhammad Zein - Tokoh Intelektual Islam

DALAM catatan yang tercecer, kali ini, saya ingin menulis seorang ulama yang amat tersohor pada abad ke-18, yakni Syeikh Muhammad Zain al-Asyi. Walaupun namanya belum diabadikan seperti Syeikh Nurdin Ar-Raniri dan Syeikh Abdur Rauf al-Singkili, ulama ini (Syeikh Muhammad Zain al-Asyi) namanya telah tertoreh di dalam sejarah intelektual Islâm di Mekkah dan juga Aceh.
Pengaruh intelektualnya sampai ke negeri Pattani, Thailand. Kiprah ulama ini pantas diangkat sekaligus ingin melihat apakah ulama seperti ini masih dijumpai di Aceh sekarang, dengan memiliki karya dan pengaruh sampai ke jazirah Arab. Mungkin inilah kegelisahan saya, kenapa begitu susah mencari sosok ulama seperti Syeikh Muhammad Zain al-Asyi.

Dalam kenyataan sejarah, kemajuan Aceh tempoe doeloe, tidak hanya disebabkan karena kemampuan penguasaan wilayah yang sampai ke semenanjung tanah Melayu (Malaysia sekarang ini), juga disebabkan kemajuan pesat dibidang ilmu pengetahuan. Bahkan Aceh pada saat itu menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara.

Disebutkan bahwa para pelajar di Nusantara ini sebelum melanjutkan perjalanan mencari ilmu di Timur Tengah (Mekkah dan Mesir) terlebih dahulu singgah di Aceh untuk belajar pada ulama Aceh, seperti Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan di Jawa Barat, seorang ulama yang membawa Tarekat Syathariyah ke tanah Jawa. Demikian pula, Syeikh Yusuf Tajul Makassari Bugis, ulama yang membawa Tarekat Syathariyah ke Sulawesi. Bahkan ulama dari Tanah Melayu, seperti Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Terengganu atau Tok Pulau Manis pengarang Kitab Kifayah. 

Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Haji Abdur Rauf ibnu Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani pengarang kitab Hidayatul Muta’allim (1244 H), Fathul Mannan (1249 H), Jawahirus Saniyah (1252 H) Kitab tasauf yang tebal dan luas perbahasannya adalah Jam’ul Fawaid . Penuntut penuntut Islam di Asia Tenggara akan belajar ke Aceh dulu sebelum berangkat ke Mekkah. Bukti sejarah ini, bisa terlihat misalnya dalam syair yang terkenal dalam dunia Melayu sebagai berikut:.

Tiga bulan dari Aceh lebih kurang, Pelayaran kapal lalu menyeberang, Bertiup angin dari belakang, Sampai ke Jeddah laut yang tenang. Salah satu ulama Aceh yang terkenal pada saat itu adalah Syeikh Muhammad Zain Al Asyi anak daripada Syeikh Jalaluddin bin Syeikh Kamaluddin bin Kadi Baginda Khatib al-Asyi. Ayahnya tersebut pengarang kitab Hidayah al-’Awam (1140 H/1727 M). Ayah Syeikh Muhammad Zain Al Asyi adalah Kadi Malikul Adil dalam masa pemerintahan Sultan Alauddin Maharaja Lela Ahmad Syah (1139 H/1727 M - 1147 H/1735 M) juga pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Johan Syah (1147 H/1735 M -1174 H/1760 M).

Syeikh Muhammad Zain Al Asyi di antara ulama Aceh terkenal di nusantara, bersama ayahnya Syeikh Jalaluddin Asyi paska wafat Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili. Ada beberapa karyanya yang masih bisa dibaca hingga hari ini, seperti kitab Bidayah al-Hidayah, kitab ilmu tauhid yang ditulis pad tahun 1170 H/1757 M. Kitab Bidayah al-Hidayah karya Syeikh Muhammad Zain Aceh agaknya tidak ada hubungannya dengan kitab yang sama judulnya Bidayah al-Hidayah karya Imam Al Ghazzali yang hanya membicarakan masalah memperbanyak amal dalam ilmu tasauf sedangkan Kitab Bidayah al-Hidayah karya ulama Aceh ini membahas mengenai ilmu akidah. kitab ini sampai sekarang masih diajar tidak hanya di Aceh tetapi juga diseluruh wilayah Indonesia, Thailand, Malaysia, Brunai dan selatan Philipina. Bahkan sewaktu penulis pergi salah satu propinsi di Kambodia, kitab ini diajar di madrasah madrasah Islam di negeri tersebut.

Syeikh Muhammad Zain Al Asyi muncul dalam peradaban Islâm dunia Melayu paska kejayaan ulama sufi terkemuka yakni Syeikh Hamzah al-Fansuri (wafat 1016 H/1607 M) dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani (wafat pada Jum’at, 12 Rejab 1039 H/25 Februari 1630 M) sampai zaman Syeikh Nuruddin ar-Raniri (wafat 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M). Namun, para sejarawah lebih banyak mengkaji kontribusi Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Abdur Rauf, dan Syeikh Nurdin. Untuk mengkaji biografi mereka, ada para sarjana yang telah menulis kisah kehidupan ulama tersebut seperti Syed Naquib Al-Attas, Azyumardi Azra, Tudjimah, dah Ahma Daudy. Sayang, data sejarah mengenai Syeikh Muhammad Zain masih mengundang sejumlah penelitian lanjutan.

Syeikh Muhammad Zain Asyi mendapat pendidikan asas secara tradisional dari ayahnya dan daripada ulama-ulama Aceh yang terkenal termasuk para guru ayah beliau sendiri. Syeikh Muhammad Zain Aceh sempat belajar kepada Baba Daud bin Agha Ismail bin Agha Mustata al-Jawi ar-Rumi. pengarang kitab Masa’il al-Muhtadi yaitu murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Baba Daud inilah yang menyempurnakan karya gurunya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang berjudul Turjuman al-Mustafid atau yang lebih terkenal dengan Tafsir al-Baidhawi dalam bahasa Melayu. Salah seorang sarjana yang telah mengupas beberapa isi kitab ini adalah A.H. John, dari Australia.

Setelah itu, Syeikh Muhammad Zain al-Asyi melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Gurunya di Mekah ialah Syeikh Muhammad Said, Syeikh Abdul Ghani bin al-Alim Muhammad Hilal, Syeikh Ahmad al-Farsi (ulama kelahiran Mesir) dan Syeikh Ahmad Durrah (juga ulama kelahiran Mesir). Melihat jaringan intelektual Syeikh Muhammad Zain, saya beranggapan bahwa ilmu-ilmu ulama ini sangat luar biasa.

Sebelum pulang ke Aceh, Syeikh Muhammad Zain Aceh sempat mengajar di Masjid al-Haram Mekah dan di rumahnya. Berdasarkan manuskrip karya Syeikh Haji Abdur Rauf ibnu Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani dapat disimpulkan bahwa pada zaman yang sama terdapat dua ulama yang bernama Muhammad Zain di Mekah. Yang pertama ialah Muhammad Zain al-Mazjaji al-Yamani berasal dari Yaman dan seorang lagi ialah Muhammad Zain al-Asyi berasal dari Aceh. Boleh jadi, Syeikh Muhammad Zain ini menjadi bagian dari ‘duta ilmu Aceh’ yang bagi generasi muda sekarang masih sangat asing namanya.

Karya karya Syeikh Muhammad Zain Asyi adalah sebagai yang berikut: Ilmu Tauhid, ditulis tahun 1114 H/1702 M, Bidayah al-Hidayah, selesai ditulis pada 24 Syaaban 1170 H/14 Mei 1757 M, Kasyf al-Kiram, selesai ditulis pada 8 Muharam 1171 H/22 September 1757 M, Talkish al-Falah fi Bayan Ahkam at-Thalaq wa an-Nikah, tanpa tarikh, Risalah Dua Kalimah Syahadah, tanpa tarikh, Faraidh al-Quran, tanpa tarikh, Masalah al-Faraid, tanpa tarikh, doa Hizb al-Bahri, tanpa tarikh. Daripada karya yang termaktub dalam senarai di atas, Bidayah al-Hidayah adalah karya Syeikh Muhammad Zain Aceh yang paling berpengaruh. Manuskrip salinan kitab itu sangat banyak dijumpai..

Di antara murid Muhammad Zain Asyi yang diketahui dan menjadi ulama terkenal di dunia Melayu ialah Syeikh Haji Abdur Rauf ibnu Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani pengarang kitab Hidayatul Muta’allim (1244 H), Fathul Mannan (1249 H), Jawahirus Saniyah (1252 H) Kitab tasauf yang tebal dan luas perbahasannya adalah Jam’ul Fawaid .

Inilah sekelumit penggalan sejarah ulama Aceh yang jarang diangkat ke permukaan, baik oleh orang Aceh sendiri, maupun para sarjana yang menekuni sejarah jaringan intelekual Islâm Timur Tengah. Saya menganggap bahwa ulama ini menjadi salah satu simpul keilmuan Islâm Nusantara. Bagi kita dewasa ini, menyebut nama ulama terdahulu, pasti akan selalu terkait dengan guru dan karya mereka, yang masih bisa dibaca hingga hari ini. Namun, menyebut nama-nama ulama sekarang, kita malah giring pada persoalan yang keduniaan, seperti persoalan politik (baca: kekuasaan).

Ulama terdahulu sibuk mencari ilmu sampai pada Mekkah. Sekarang semangat ini jarang kita lihat, dimana tidak sedikit ulama lokal yang hanya berpuaskan diri dengan kualitas ilmu yang mereka dapatkan di Aceh. Istilah meudagang menjadi simbol mencari ilmu dewasa dulu, terlihat dari jaringan guru dan karya-karya mereka. Membaca sejarah ulama kontemporer Aceh, saya sulit menemukan fenomena seperti Syeikh Muhammad Zain al-Asyi.

Tentu saja ini menjadi ‘cermin sejarah’ bagi ulama Aceh saat ini. Ulama itu dikenal karena karya, bukan karena persoalan sosial politik. Ulama dikenal karena kehebatan gurunya, bukan karena kedekatan dengan penguasa. Mungkin inilah hikmah terpenting bagaimana agar semangat dan ruh intelektual seperti Syeikh Muhammad al-Asyi bisa bangkit kembali. Dengan demikian, kehebatan dan kehormatan wangsa Aceh akan kembali lagi, manakala ada segolongan ulama yang betul-betul berkhidmat kepada ilmu-ilmu Allah. Mari kita menanti ada ulama Aceh masa kini yang bisa menghasilkan karya-karya yang bisa dinikmati oleh generasi Aceh berikutnya.

atjehcyber.net

Syeikh Jamaluddin - Seorang Muballigh Terkemuka

Husain Jamaluddin Akbar atau Maulana Husain Jumadil Kubro (1310-1453M) dikenal sebagai seorang muballigh terkemuka, di mana sebagian besar penyebar Islam di Nusantara (Wali Songo), berasal dari keturunannya. Ia dilahirkan pada tahun 1310 M di negeri Malabar, yakni sebuah negeri dalam wilayah Kesultanan Delhi. Ayahnya adalah seorang Gubernur (Amir) negeri Malabar, yang bernama Amir Ahmad Syah Jalaluddin.

Nasab lengkapnya adalah Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti Muhammad  .
Maulana Husin, memiliki banyak saudara di antaranya : Aludeen Abdullah, Amir Syah Jalalluddeen (Sultan Malabar), Alwee Khutub Khan, Hasanuddeen, Qodeer Binaksah, Ali Syihabudeen Umar Khan, Syeikh Mohamad Ariffin Syah (Datuk Kelumpang Al Jarimi Al Fatani) dan Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera) .

Maulana Husain memiliki beberapa nama panggilan, diantaranya Sayyid Husain Jamaluddin, Syekh Maulana Al-Akbar atau Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat, ia tercatat memiliki 6 istri, yaitu:
1. Lalla Fathimah binti Hasan bin Abdullah Al-Maghribi Al-Hasani (Maroko), memperoleh seorang anak, yang kemudian dikenal dengan nama Maulana Muhammad Al-Maghribi.
2. Puteri Nizam Al Mulk dari Delhi, memperoleh 4 anak yaitu: Maulana Muhammad Jumadil Kubra, Maulana Muhammad ‘Ali Akbar, Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh Subakir), Syaikh Maulana Wali Islam.
3. Puteri Linang Cahaya, (menikah tahun 1350 M), memperoleh 3 anak, yaitu: Pangeran Pebahar, Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa Agung), Syekh Yusuf Shiddiq (Ayah dari Syekh Quro, Karawang).
4. Puteri Ramawati (Puteri Jeumpa/Pasai) (Menikah tahun 1355 M), memperoleh seorang anak yang bernama Maulana Ibrahim Al Hadrami.
5. Puteri Syahirah dari Kelantan (Menikah tahun 1390 M) memperoleh 3 anak. yaitu ’Abdul Malik, ‘Ali Nurul ‘Alam dan Siti ‘Aisyah (Putri Ratna Kusuma.
6. Puteri Jauhar (Diraja Johor), memperoleh anak bernama Muhammad Berkat Nurul Alam dan Muhammad Kebungsuan
Keempat isterinya yang terakhir, ia nikahi selepas tiap-tiap seorang daripadanya meninggal dunia

Pada tahun 1349 M besama adiknya Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera) , tiba di Kelantan dalam menjalankan misi dakwahnya.
Dari Kelantan ia menuju Samudra Pasai, dan ia kemudian bergerak ke arah Tanah Jawa. Di Jawa ia menyerahkan tugas dakwah ke anakanda tertuanya Maulana Malik Ibrahim. Jamaluddin Akbar al-Husaini sendiri bergerak ke arah Sulawesi dan mengislamkan Raja Lamdusalat (La Maddusila Toappasawe' Datu Tanete) pada tahun 1380 M.
Pada awal abad ke-15, Maulana Husain mengantar puteranya Maulana Ibrahim Al Hadrami ke tanah Jawa.

Pada akhirnya ia memutuskan untuk bermukim di Sulawesi, hal ini dikarenakan, sebagian besar orang Bugis ketika itu belum masuk Islam. Ia wafat pada tahun 1453, dan dimakamkan di Wajo Sulawesi.

id.wikipedia.org

Syeikh Jalaluddin Tursani - Ahli Hukum Islam

Syeikh Jalaluddin Tursani SYEIKH Jalaluddin Tursany, seorang ulama, ahli hukum Islam kenamaan yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Sultan Alaiddin Johan Syah, 1147-1174 H (1733-1760 M). Beliau juga ¬pengarang dan hasil tulisannya dalam bahasa Melayu, antara lain: Mudharul Ajla IIa Rutbaitil A’la (kitab yang mengandung Filsafat, membahas hubungan makhluk dengan Khaliq, Tuhan), Safinatul Hukam (kitab Hukum Islam yang membahas Hukum Dagang, Hukum Keluarga, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata/Pidana dan Teori-teori Pemerintahan yang Maju, bahkan wanita menjadi Raja).

galeriabiee.wordpress.com

Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi - Ulama Syattariyah

Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi, tidak banyak dikenal oleh generasi Aceh kini. Padahal karya Tajul Muluk, sering dibaca sampai sekarang. Sebelum berangkat ke Mekkah beliau berguru pada Syeikh Ali Asyi di Aceh, dan sewaktu beliau berada di Mekkah diantara guru gurunya adalah, Syeikh Daud bin Abdullah Al Fathani dan Syeikh Ahmad al-Fathani.

Kedua ulama ini memang sangat disegani, tidak hanya di tanah Arab, tetapi juga di rantau Melayu, seperti di Aceh, Pattani, dan Kelantan. Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi, agaknya tidak lepas dari jaringan keilmuan Nusantara ini. Kendati, sampai sekarang hampir tidak ada peneliti yang berani melakukan pengkajian terhadap biografinya secara lengkap.

Aceh, pulau jawa, sumatera, dan juga Kalimantan, ada kitab yang selalu dibaca oleh kaum santri atau siapapun yang tertarik dengan ilmu pegobatan, yakni Kitab Tajul Muluk. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi (jawoe), maka siapapun bisa membacanya bila mengerti.

Anak Aceh yang sudah belajar di pesantren modern atau Madrasah ‘Aliyah, diantara cita-cita mereka adalah bisa belajar di Kairo, Mesir. Negeri yang sudah mencetak ribuan ulama, bahkan tidak sedikit jiwa pembaruan di Nusantara, disemai dari mereka yang pernah menimba ilmu di Mesir.

Sehingga anak muda Aceh yang merantau ke Mesir itu tidak sedikit. Saat ini sudah ada yang berbakti di Darussalam, seperti Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim. Juga ada Prof. Dr.Tgk. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh). Di dalam era kontemporer, dunia Islâm di Aceh memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi keilmuan Islam yang didapatkan oleh sarjana-sarjana Aceh yang pernah menuntut ilmu di Kairo ini.

Ini merupakan impian setiap anak muda Aceh, yang mau menuntut ilmu ke mesir. Karena mesir gudangnya Ilmu Pengetahuan, dan Mesir tempat Ilmu pertama kali yang terbaik dalam hal masalah agama dan Ilmu pengobatan.

Selain Tajul Muluk, ada karyanya yang masih ada sampai saat ini adalah Jam’u Jawami’il Mushannifat. Salah satu kitab yang wajib dibaca di dayah-dayah, tidak hanya di Aceh, melainkan juga di Pattani dan Kelantan. Di dalam kitab tersebut, Syeikh Ismail menulis sepenggal kalimat yang sangat puitis:

Di dalam hal ini, Syeikh Ismail selain mentashihkan kitab-kitab ulama Aceh pada saat itu agar mudah dibaca umum. Selain itu ia juga mengarang kitab sendiri seperti Muqaddimatul Mubtadi-in, yang dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1307 Hijrah/1889 Masehi. Tuhfatul Ikhwan fi Tajwidil Quran, diselesaikan pada waktu Dhuha hari Jumaat dua likur Jamadilawal 1311 Hijrah/1893 Masehi.

Cetakan pertama Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Terdapat lagi cetakan Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1324 Hijrah/1906 Masehi, Fat-hul Mannan fi Bayani Ma’na Asma-illahil Mannan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311 Hijrah/1893 Masehi, Fat-hul Mannan fi Hadits Afdhal Waladi ‘Adnan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi.

Berawal dari kisah Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib al-Asyi, lalu mencoba mencari apakah ada ulama Aceh yang cukup disegani di Mesir? Dalam beberapa ‘catatan tercecer’ telah dikupas beberapa nama ulama Aceh di Mekkah serta jasa mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Mekkah berikut Serambinya (Aceh).

Tanpa sengaja kemudian tersentak bahwa pengarang kitab Tajul Muluk adalah ulama Aceh yang pernah menetap di Mesir. Lagi-lagi, nama beliau tidak pernah terdengar di Aceh, walaupun hanya untuk nama jalan, seperti yang terlihat sekarang, dimana ada nama-nama ulama besar hanya dijadikan sebagai nama-nama jalan di kota besar Aceh.

Wan Muhammad Sangir Abdullah, pengumpul hasil karya ulama Nusantara, mengatakan bahwa Syeikh Ismail Abdul Muthalib Asyi, setelah lama belajar dan mengajar di Mekkah oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani mengirim beliau ke Mesir untuk mengurus dan membina kader kader muda Islam Nusantara yang lagi belajar di Al Azhar Kairo bersama Syeikh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syeikh Ahmad Thahir Khatib, Syeikh Abdurrazak bin Muhammad Rais, dan Syeikh Muhammad Nur Fathani.

Sesampainya di sana beliau mendirikan wadah pemersatu pelajar pelajar Nusantara disana dan beliau diangkat menjadi ketua pertama persatuan pelajar pelajar Melayu di Mesir oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani. Syeikh Ismail Asyi meninggal dunia di Mesir dan sedangkan keturunannya ramai menetap di Makkah.

Sampai sekarang belum diketahui dimana pusaranya. Namun, jasa dan embrio keilmuan yang ditiupkan oleh Syeikh Ahmad Fathani kepada Syeikah Ismail Abdulmuthalib Asyi sudah berhasil. Buah dari hijrah ini sudah dapat kita rasakan sampai hari ini, tidak hanya bagi orang Aceh, tetapi juga bagi umat Islâm di Indonesia, Malaysia, dan Thailand Selatan.

Inilah kisah kecil dan peran Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi. Ada banyak hal yang perlu dipelajari lebih lanjut. Perlu dilacak lagi bagaimana jaringan keilmuannya di Mesir. Sehingga ada ‘alasan sejarah’ mengapa generasi Aceh selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke negeri itu. kisah ini ternyata sudah dilakukan oleh Syeikh Ismail Abdulmuthalib Asyi melalui dorongan dari gurunya yang berasal dari Pattani. Untuk itu, kita berharap nama ulama ini bisa mendapat tempat yang terhormat di Aceh, tidak lantas kemudian menjadi nama-nama jalan di kota besar.

Menghormati dan menghargai ulama, adalah dengan cara membaca karyanya dan berdoa atas jasa yang telah diberikan kepada kita saat ini. Begitu banyak manfaat kitab Tajul Muluk, namun tidak seimbang dengan pengetahuan pembaca akan penulis kitab ini. Akhirnya ‘sejarah tercecer’ dan tersebar entah kemana, kali ini bisa menjadi perhatian bagi masyarakat dan pemerintah Aceh.

Sudah saatnya digagas untuk menulis dan mencari dimana ulama-ulama Aceh di Timur Tengah..Kita berharap ada upaya nyata dari pemerintah untuk menggali dan mencari jejak-jejak ulama Aceh, yang telah berjasa dalam pengembangan keislaman dan keilmuan sehingga menjadi iktibar bagi generasi Aceh selanjutnya.

Secara sejarah, modernisasi pendidikan di Mesir berawal dari pengenalan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi Napoleon Bonaparte pada saat penaklukan Mesir. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang dicapai Napoleon Bonaparte yang berkebangsaan Perancis ini, memberikan inspirasi yang kuat bagi para pembaharu Mesir untuk melakukan modernisasi pendidikan di Mesir yang dianggapnya stagnan.

Diantara tokoh-tokoh tersebut Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Ali Pasha. Dua yang terakhir, secara historis, kiprahnya paling menonjol jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Sistem Pendidikan di negara Mesir meliputi: Sekolah Dasar (Ibtida’i); Sekolah Menengah Pertama (I’dadi);  Sekolah Menengah Atas (Tsanawiyah ‘Ammah); Pendidikan Tinggi.

Mesir dengan luas  wilayah sekitar 997.739 km², mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat Daya), sedangkan sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur.

Asal nama Mesir, Orang Qibti (Mesir kuno) menyebut negeri ini di zaman dahulu dengan istilah Kemy dan Takemy yang berarti hitam atau tanah yang hitam, sebagai simbol dari warna tanah yang subur. istilah Mesir paling kuno adalah Tawey yang berarti dua tanah. Karena secara geografis Mesir terbagi kepada dua, Tasymaao (dataran tinggi) dan Tsameho (permukaan laut atau ardh wajhul bahri). Nama ini muncul sejak akhir 4000 tahun SM.

atjehcyber.net

Selasa, 01 November 2016

Syeikh Hamzah Fansuri - Ulama Sufi dan Sastrawan



Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri adalah seorang ulama sufi dan sastrawan yang hidup pada abad ke-16. Meskipun nama 'al-Fansuri' sendiri berarti 'berasal dari Barus' (sekarang berada di provinsi Sumatera Utara) ada pula sarjana yang berpendapat ia lahir di Ayutthaya, ibukota lama kerajaan Siam. Hamzah al-Fansuri lama berdiam di Aceh. Ia terkenal sebagai penganut aliran wahdatul wujud. Dalam sastra Melayu ia dikenal sebagai pencipta genre syair. A. Teeuw menyebutnya sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia.

Karya-karyanya
Puisi
Syair Hamzah Fansuri terdiri atas 13-21 bait. Setiap bait terdiri atas empat baris, yang berima a-a-a-a. Pada umumnya jumlah kata tiap baris ada empat, meskipun terdapat pengecualian. Syair Hamzah al-Fansuri banyak terpengaruh puisi-puisi Arab dan Persia (seperti rubaiyat karya Umar Khayyam), namun terdapat perbedaan. Rima rubaiyat adalah a-a-b-a, sedangkan Hamzah al-Fansuri memakai a-a-a-a.

Dari segi tema setiap syair yang dikarang Hamzah al-Fansuri membahas salah satu aspek tasawuf yang dianut oleh sang penyair itu.

A Teeuw menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri memperkenalkan individualitas, hal yang sebelumnya tidak dikenal dalam sastra Melayu lama. Dia juga memperkenalkan bentuk puisi baru untuk mengekspresikan diri. Inovasi lain adalah pemakaian bahasa yang kreatif. Hamzah Fansuri tidak segan-segan meminjam kata-kata dari bahasa Arab dan Persia dalam puisinya. 

Daftar puisi :
Syair Burung Unggas
Syair Dagang
Syair Perahu
Syair Si Burung pipit
Syair Si Burung Pungguk
Syair Sidang Fakir

Prosa
Asrar al-Arifin
Sharab al-Asyikin

id.wikipedia.org

Daud Ar-Rumi Al-Jawi - Murid Sheikh Abdul Rauf Al-Fansuri

Koleksi Tulisan Allahyarham: WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH
NAMA lengkap ulama yang akan dibicarakan ini iaitu Baba Daud al-Jawi ibnu Ismail ibnu Agha Mustafa ibnu Agha Ali ar-Rumi. Datuk neneknya berasal dari Turki dan lebih jauh ke atas lagi berasal dari Rom.

Salah seorang keturunannya pergi Aceh, selanjutnya ada yang ke Pattani dan Kelantan. Cerita ini penulis peroleh darpada Nik Mustafa bin Haji Abdul Qadir, salah seorang keturunannya di Kota Bharu, Kelantan (1976-1978). Beliau pula mendengar cerita darpada ayahnya, Haji Abdul Qadir bin Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani.

Azyumardi Azra menyebut dalam Jaringan Ulama, (hlm. 210) bahawa adalah salah seorang askar bayaran Turki yang datang dalam jumlah besar untuk membantu Kesultanan Aceh dalam perjuangannya melawan Portugis.

Namun penulis masih meragui pendapat ini kerana di Turki pada zaman yang sama ada seorang tokoh besar Tarekat Qadiriyah bernama Ismail ar-Rumi (wafat 1631 atau 1643 M). Mengenai tahun wafat tersebut, penulis petik dari buku Martin Van Bruinessin berjudul Kitab Kuning (cetakan kedua, hlm.213). Ada kemungkinan Ismail ar-Rumi inikah yang dimaksudkan sebagai ayah Baba Daud al-Jawi itu, atau tokoh lain yang kebetulan nama sama.

Pendidikan

Maklumat terawal mengenai pendidikannya baru diperoleh daripada dua sumber. Sumber pertama berdasarkan pengakuan beliau sendiri, yang ditulis pada bahagian akhir kitab Turjumanul Mustafid, “... sekecil-kecil muridnya dan sehina-hina khadamnya itu, iaitu Daud al-Jawi anak Ismail anak Agha Mustafa anak Agha Ali ar-Rumi...”.

Makna yang dimaksudkan pada kalimat yang tersebut ialah bahawa beliau murid dan khadam kepada Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.

Sumber yang kedua ditulis oleh murid beliau, Sheikh Faqih Jalaluddin bin Kamaluddin al-Asyi di dalam salah satu versi Manzarul Ajla ila Martabatil A’la, bahawa Sheikh Arif Billah Baba Daud adalah murid Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Syathariyah Baba Daud al-Jawi menerima baiah daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu.

Selain mendapat pendidikan daripada Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, belum ditemui maklumat yang membicarakan pendidikan lanjut Baba Daud al-Jawi yang dibicarakan ini.

Sehingga kini karya yang dapat ditonjolkan sebagai suatu hasil karya hanya sebuah saja. Itu pun hanya sebagai seorang yang menyelesaikan dan membuat tambahan terhadap karya gurunya, Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang tersebut.

Sebagai bukti bahawa kitab Turjumanul Mustafid diselesaikan oleh Baba Daud al-Jawi, beliau tulis pada akhir kitab tafsir itu, “Dan menambahi atasnya oleh sekecil-kecil muridnya ...” .

Manuskrip asli Turjumanul Mustafid karya Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang diselesaikan oleh Baba Daud al-Jawi itu akhirnya dipunyai oleh salah seorang keturunannya di Pattani. Kemudian diserahkan kepada Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Daripada manuskrip itulah yang diproses dan ditashih oleh Sheikh Ahmad al-Fathani yang kemudian dicetak dan disebarkan secara luas.

Hasil cetakan yang diusahakan oleh Sheikh Ahmad al-Fathani itulah, kitab tafsir itu masih diterbitkan hingga sekarang. Kitab tersebut juga dinamakan Tafsirul Baidhawi asy Syarif, dan dengan nama Tafsir Baidhawi itulah yang paling popular di kalangan masyarakat Alam Melayu. Penerbitan-penerbitan awal Tarjuman al Mustafid karya Sheikh Abdur Rauf al-Fansuri ini tercatat :

a. Cetakan pertama Istanbul (Turki) 1302 H (1884 M)

b. Cetakan pertama Matba’ah Miriyah, Bulaq, Mesir 1303 H (1885 M)

Dalam beberapa terbitan Tarjuman al Mustafid di halaman terakhir, terdapat maklumat bahawa kitab tersebut ditashih oleh tiga orang, iaitu:

a. Sheikh Ahmad al-Fathani, iaitu adalah pentashih yang pertama sekali.

b. Sheikh Idris al-Kalantani. Maksudnya adalah Sheikh Idris bin Husein al-Kalantani, iaitu murid kepada Sheikh Ahmad al-Fathani, yang telah beliau berikan kepercayaan dalam bidang khas pentashihan selanjutnya jika terdapat kekeliruan teknik cetakan dan lain-lain.

Hendaklah diperhatikan bahawa Sheikh Idris al-Kalantani tersebut lain dari Sheikh Idris al-Marbawi yang pernah juga sebagai pentashih Tarjuman al Mustafid pada terbitan-terbitan mutakhir.

c. Sheikh Daud al-Fathani. Maksudnya adalah Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani, juga murid Sheikh Ahmad al-Fathani yang masih ada pertalian keluarga, iaitu orang kepercayaan Sheikh Ahmad al-Fathani sesudah Sheikh Idris al-Kalantani.

Mengenai data kandungan ringkas kitab ini, Sheikh Ahmad al-Fathani menyebut:”…yang diterjemahkan dengan bahasa jawi, yang diambil setengah maknanya dari Tafsir al-Baidhawi…”. Ini bererti Tarjuman al Mustafid bukanlah merupakan terjemah secara keseluruhan Tafsir al-Baidhawi seperti banyak diperkatakan orang.

Pendapat Sheikh Ahmad al-Fathani ini sesuai pula dengan tulisan penyalin pertamanya, iaitu ulama yang dibicarakan ini, Daud al-Jawi bin Ismail yang mengatakan:

“Akan kisahnya yang diambil kebanyakannya daripada Khazin. Terlalu baru Karel A. Steenbrink yang merupakan petikan dari tulisan Petter Riddel, yang mengatakan bahawa “ternyata dasar tafsir ini adalah sebuah terjemahan yang cukup harfiah darpada Tafsir Jalalayn”, ini kerana walaupun Sheikh Ahmad al-Fathani tidak menyebut Tafsir Jalalayn itu, namun kalimat beliau itu telah mewakili bahawa dikarangkannya Tarjuman al Mustafid hanya sebahagiannya saja dari tafsir-tafsir selainnya termasuk Khazin mahupun Jalalayn.

Menurut keterangan beberapa orang keturunan Baba Daud al-Jawi yang berada di Pattani dan Kelantan, selain menyelesaikan karya tersebut, beliau juga menghasilkan beberapa karya yang lain. Namun sampai sejarah ini ditulis, penulis belum menemui karya yang lainnya.

Sebagai kesan daripada pengaruh nama beliau yang diawali dengan ‘Baba’, hingga sekarang dalam seluruh wilayah Pattani apabila seseorang itu membina pondok pengajian, mempunyai pengetahuan agama Islam dan berpengaruh dalam masyarakat disebut ‘Baba’.

Pada mulanya hanya keturunan dan yang ada hubungan keluarga dengan beliau saja yang layak digelar demikian, tetapi akhirnya gelaran itu merata kepada setiap guru pondok yang terpandang atau masyhur.

Salah seorang keturunannya yang menjadi ulama terkenal yang dapat dikesan ialah Sheikh Daud bin Ismail al-Jawi al-Fathani. Namanya dan nama orang tuanya serupa dengan nama datuknya, Baba Daud al-Jawi ibnu Ismail ar-Rumi yang tersebut.

Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani ini adalah saudara sepupu Sheikh Ahmad al-Fathani. Keturunan tersebut dapat dikesan hanyalah yang berada di Mekah, Pattani dan Kelantan, sedang yang di Aceh hingga sekarang penulis belum memperoleh maklumat.

Sampai pada zaman Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani masih ramai keluarganya yang mempunyai kedudukan sebagai pembesar di Turki Uthmaniah. Kekeluargaan tersebut telah dimanfaatkan oleh Sheikh Ahmad al-Fathani dalam pelbagai sektor perjuangannya ketika beliau berada di Turki.

Sebagai catatan, sewaktu penulis dalam menyelesaikan sejarah ini, salah seorang keturunan Baba Daud al-Jawi ibnu Ismail ar-Rumi bernama Hajah Nik Wan Fatimah (Kak Mah) binti Haji Wan Abdul Qadir Kelantan bin Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani, meninggal dunia pada 13 Rabiulakhir 1420 H/26 Julai 1999, hari Isnin, pukul 11 pagi di Kota Bharu, Kelantan.

Sepanjang hayatnya beliau giat mengajar al-Quran dan membuka sekolah untuk mendidik kanak-kanak di rumah kediamannya di Kota Bharu.

Sebagai penutupnya, mengenai Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani dan keturunannya akan dibicarakan lebih lanjut di bawah judul nama beliau pada siri-siri yang berikutnya.

ulama-nusantara.blogspot.co.id

Syeikh Abdur Rauf Singkil - Ulama Syattariyah

Makam Syaikh Abdurrauf al-singkili alias Syiah Kuala (bercungkup) di desa Deah Raya di muara Krueng Aceh di Banda Aceh
Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

Masa muda
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.

Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.

Dakwah dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).

Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:

Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.

Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.

id.wikipedia.org

Syeikh Abdullah Al-Qumairi - Ulama dan Pencipta Nama Kedah Darul Aman

ADA yang berpendapat bahawa tokoh penyebar Islam di Aceh yang juga penyusun kitab Bahr Al-Lahut iaitu Syeikh Abdullah Arif adalah sahabat kepada tokoh ulama yang diperkenalkan pada kali ini.

Namun ada pula berpendapat bahawa kedua-dua Syeikh Abdullah ini adalah orang yang sama.

Syeikh Abdullah Arif di Aceh dikatakan berada di Aceh sekitar tahun 560H/1165M-1177M, sedangkan Syeikh Abdullah al-Qumairi ini atau nama lengkapnya Tuan Syeikh Abdullah bin Tuan Syeikh Ahmad bin Tuan Syeikh Ja’far Qumairi berasal dari Syahir Yemen dan tiba di Kedah tahun 531 H.

Kisah lengkap Syeikh Abdullah al-Qumairi yang lengkap diriwayatkan oleh Muhammad Hassan bin Muhammad Arsyad dalam al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah. Ia ditransliterasi dari tulisan Melayu/Jawi kepada Latin/Rumi dan diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1968.

Menurut Buyong Adil dalam Sejarah Kedah (Terbitan DBP, 1980), kedatangan Syeikh Abdullah ke Kedah tahun 531H itu bersamaan dengan tahun 1136M. Menurut Bahayuddin Haji Yahaya dalam Naskhah Jawi, tahun 531H itu bersamaan dengan tahun 1137M.

Diriwayatkan bahawa Syeikh Abdullah al-Qumairi adalah seorang ulama yang berasal dari Yaman dan datang bersama-sama dengan 11 orang sahabatnya.

Dalam buku Sejarah Kedah Sepintas Lalu (Diterbitkan oleh Jawatankuasa Penerbitan Universiti Utara Malaysia, cetakan pertama 1987 hlm 10) oleh Haji Ibrahim Ismail, disebutkan dalam Hikayat Merong Maha Wangsa bahawa Syeikh Abdullah al-Yamani (berkemungkinan maksudnya Syeikh Abdullah al-Qumairi al-Yamani) adalah murid kepada Syeikh Abdullah di Baghdad.

Jika disemak dengan teliti kandungan buku tersebut, penulis menyimpulkan Islam datang ke Kedah jauh lebih awal daripada kedatangan Syeikh Abdullah al-Qumairi.

Ini kerana dinyatakan dalam buku tersebut bahawa sesudah merdeka ditemui sebuah nisan di Langgar, Kedah yang berinskripsikan nama Syeikh Abdul Qadir ibnu Husein Syah Alirah/Alam dan tarikhnya 291H bersamaan 903M. Haji Ibrahim Ismail memetik dari kertas kerja berjudul ‘Sejarah Kedah Dalam Kebangkitan Islam’ (1982) oleh Ismail bin Haji Salleh.

Selain itu, ia juga disebut oleh Abdullah Abbas Nasution dalam Islam 14 Abad dan manuskripnya diserahkan kepada penulis. Lihat juga Pengiran Haji Muhammad bin Pengiran Haji Abd. Rahman dalam Islam di Brunei Darussalam, cetakan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, cetakan pertama, 1992, halaman 30.

Mendahului
Melihat kepada perbandingan tahun kedatangan di antara kedua-dua tokoh ini iaitu Syeikh Abdullah Arif di Aceh (560H/1165M) dengan Syeikh Abdullah al-Qumairi berserta 11 orang sahabatnya di Kedah, ini bermakna Syeikh Abdullah al-Qumairi di Kedah mendahului kedatangan Syeikh Abdullah Arif di Aceh lebih kurang 29 tahun.

Namun apabila dibandingkan pula dengan tarikh batu nisan Syeikh Abdul Qadir ibnu Husein Syah Alirah di Langgar, Kedah pada tahun 291H/903M dengan tulisan M. Junus Djamil yang menyebut bahawa kerajaan Islam telah lahir di Perlak tahun 225H/840M, yang dilihat perbezaannya adalah lebih kurang 66 tahun.

Oleh itu, apabila dilihat tahun-tahun tersebut perbezaannya tidak jauh. Walaupun dinyatakan oleh Haji Ibrahim Ismail bahawa kerajaan itu lebih kurang 300 tahun lebih awal dari kewujudan Kedah (Lihat Sejarah Kedah Sepintas Lalu, halaman 18).

Menurut buku Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah dan dipetik oleh Buyong Adil bahawa Syeikh Abdullah al-Qumairi dan 11 orang sahabatnya telah berhasil mengislamkan Raja Kedah yang kesembilan, iaitu Maharaja Derbar/Durbar Raja II yang ketika itu berkedudukan di Istana Bukit Meriam.

Namun, dalam Hikayat Merong Maha Wangsa, bukan raja yang kesembilan, tetapi adalah raja yang ketujuh. Nama raja juga berbeza, raja Kedah menurut hikayat tersebut bernama Phra Ong Maha Wangsa.

Nama baginda raja itu juga ditukar oleh Syeikh Abdullah al-Qumairi dari Maharaja Derbar/Durbar Raja II @ Phra Ong Maha Wangsa menjadi Sultan Muzaffar Syah I(mangkat pada 13 safar 575 Hijrah / 1179 M). Negeri Kedah pula diberi nama Kedah Darul Aman.

Pada hari pengislaman raja Kedah itu turut diislamkan pembesar-pembesar istana. Ini bererti dilakukan pengislaman secara massal.

Pengislaman terhadap rakyat pula diatur strategi bersama-sama di antara Syeikh Abdullah al-Qumairi berserta 11 orang sahabatnya, bahkan disertai Sultan Muzaffar Syah I sendiri. Dalam waktu yang singkat dan cepat, hasil kerjasama yang padu dan sepakat antara ulama (Syeikh Abdullah al-Qumairi) dengan umara (Sultan Muzaffar Syah I) tersebut, maka rakyat Melayu yang asal dalam kerajaan Kedah Darul Aman serta merta memeluk Islam kesemuanya.

Ini membuktikan kejayaan dakwah dan pendidikan Islam yang dijalankan oleh Syeikh Abdullah al-Qumairi yang benar-benar ikhlas dan bertanggungjawab.

Oleh itu, secara langsung Syeikh Abdullah al-Qumairi adalah sebagai guru kepada Sultan Muzaffar Syah I, malah guru bagi pihak keluarga istana Sultan Kedah Darul Aman. Oleh kerana sangat kasih dan hormat Sultan Muzaffar Syah I kepada Syeikh Abdullah al-Qumairi, baginda melantik ulama tersebut sebagai orang tua dan penasihatnya.

Untuk mengembangkan lagi dakwahnya, Syeikh Abdullah al-Qumairi menyarankan supaya dibina sebuah menara sebagai tanda kebesaran Islam di puncak Gunung Jerai. Menara tersebut dijadikan sebagai tempat azan, untuk menyeru orang sembahyang. Maka, Sultan Muzaffar Syah I memerintahkan supaya dilaksanakan saranan ulama tersebut.

Wasiat
Setelah binaan menara tersebut hampir siap, Syeikh Abdullah al-Qumairi jatuh sakit dan ditakdirkan meninggal dunia beberapa hari selepas itu. Sebelum wafat, beliau sempat meninggalkan wasiat agar jenazahnya dikebumikan di tanah yang rata berdekatan dengan menara yang hampir siap itu. Sekitar kubur beliau itu dinamakan orang dengan Padang Tok Syeikh.

Tuan Guru Haji Mahmud Nasri bin Utsman (tokoh yang menghidupkan Silat Abjad), pernah bercerita kepada murid-muridnya bahawa seorang wali Allah yang sangat terkenal iaitu Syeikh Abdul Qadir al-Jilani pernah menziarahi kubur Syeikh Abdullah al-Qumairi beberapa kali. Beliau juga pernah sembahyang di tempat tanah lapang di Gunung Jerai itu.

Kisah mengenai Syeikh Abdul Qadir al-Jilani pernah menziarahi kubur Syeikh Abdullah al-Qumairi itu dapat diterima akal kerana wali Allah tersebut wafat dalam tahun 561H/166M sedangkan Syeikh Abdullah al-Qumairi wafat dalam sekitar tidak berapa lama setelah kedatangannya di Kedah itu (531H/1136M atau 1137M).

Mengenai Syeikh Abdullah Al-Qumairi :
* Datang ke Kedah pada tahun 1136 atau 1137.
* Berasal dari Yemen.
* Mengislamkan maharaja Derbar/Durbar II di Istana Bukit Meriam.
* Menukar nama Raja kepada Sultan Muzaffar Shah I.
* Guru Sultan Muzaffar Syah I.
* Memberi nama Kedah Darul Aman.

id.wikipedia.org

Syeikh Abbas Kutakarang - Ahli Astrologi Dunia Melayu

ORANG pertama memperkenalkan karya ulama besar dari Aceh ini ialah Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi. Karya yang dimaksud itu berjudul Sirajuz Zhalam fi Ma‘rifatis Sa‘di wan Nahasi fis Syuhuri wal Aiyam, yang dicetak pada bahagian pertama kumpulan Tajul Muluk.

Kemudian dijumpai karyanya yang berjudul Qunu’ liman Ta‘aththuf yang masih dalam bentuk manuskrip, beberapa buah tersimpan di Muzium Islam Pusat Islam Kuala Lumpur, juga di Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia dan koleksi penulis sendiri.
Oleh itu, penulis mulai menjejaki secara serius dan mengumpulkan data mengenai ulama besar Aceh tersebut.

Secara tidak disengajakan, dua kertas kerja yang dibentangkan dalam Bengkel Sejarah Bahasa Melayu Dari Pelbagai Kota (anjuran Bahagian Penyelidikan Bahasa (DBP) dan Institut Bahasa, Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu (UKM 1992), terdapat sedikit maklumat mengenainya.
Dalam kertas kerja yang dibentangkan oleh Tuanku Abdul Jalil iaitu seorang Sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh menyebutkan, “... Ulama Besar Syaikh Abbas bin Muhammad bergelar Teungku Chik Kutakarang...”.

Dalam kertas kerja M. Adnan Hanafiah tertulis, “Seorang ulama lainnya, Syeikh Abbas Kuta Karang di Aceh Besar, selaku pengarang, tabib, ahli ilmu astronomi, berkedudukan Kadi Malikul Adil pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Ibrahim Mansur Syah (1857-1870) ...”.

Syeikh Abbas sendiri menulis serba ringkas asal usulnya, iaitu “...Syeikh Abbas, Aceh nama negerinya, Masjidul Jami’ Ulu Susu tempatnya, kejadiannya, Kuta Karang nama kampungnya”.

Syeikh Ismail bin Abdullah Muthallib al-Asyi mencatatkan, “...Syeikhuna wa Qudwatuna asy-Syeikh Abbas orang Aceh. Lagi sangat tabahhur pada sekalian fan ilmu handasah dan ilmu falakiyah ...”

Tahun lahir dan pendidikan asas ketika masih kanak-kanak belum dapat dikesan dengan pasti. Kita hanya dapat membandingkan tahun-tahun kehidupannya, seperti disebutkannya selesai menulis Qunu’ 1259 H/1843 M, selesai menulis Sirajuz Zhalam 1266 H/1849 M.

Ini bererti penampilan aktivitinya agak kebelakangan sedikit daripada dua orang ulama besar Aceh bernama Syeikh Muhammad bin Khathib Langien karyanya Dawaul Qulub, 1237 H/1821 M dan Syeikh Muhammad bin Syeikh Abdullah Ba‘id (karyanya Hukum Jarah 1236 H/1820 M).

Kebetulan Tuanku Abdul Jalil juga menyebut bahawa nama ayah Syeikh Abbas adalah “Muhammad”. Kemungkinan saja Syeikh Abbas yang diriwayatkan ini adalah anak kepada salah seorang daripada Syeikh Muhammad yang tersebut itu. Jika kita dapat ketahui nama datuknya, maka perkara yang rumit itu dapat diselesaikan. Tidak mustahil pula kemungkinan Syeikh Abbas adalah murid kepada kedua-dua ulama itu.

Beberapa maklumat yang dapat dikesan bahawa Syeikh Abbas bin Muhammad al-Asyi tersebut melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Di Mekah dia bersahabat dengan Syeikh Zainuddin Aceh, 

Syeikh Ismail Minangkabau, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Muhammad Shalih Rawa dan ramai lagi.

Ulama yang berasal dari dunia Melayu tempat mereka belajar ialah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Hanya dua ulama itu saja yang dapat dikesan sebagai gurunya yang berasal dari Tanah Jawi (Asia Tenggara), selain turut belajar daripada beberapa ulama yang berasal daripada bangsa Arab sendiri.

Di antara mereka ialah: Saiyid Ahmad al-Marzuqi al-Maliki, Syeikh Utsman ad-Dimiyathi, Syeikh Muhammad Sa‘id Qudsi, Syeikh Muhammad Shalih bin Ibrahim ar-Rais, Syeikh Umar Abdur Rasul, Syeikh Abdul Hafiz al-Ajami dan ramai lagi.

Belum dijumpai riwayat yang jelas aktivitinya di Mekah selain belajar, hanya sebagai selingan pada waktu-waktu terluang, beliau cuba menulis kitab. Aktiviti-aktiviti mengajar baik di rumah mahupun di Masjidil Haram pun tidak terdapat keterangan mengenai itu. Apa yang jelas bahawa Syeikh Abbas 

Aceh pulang ke kampungnya membawa ilmu pengetahuan yang sangat banyak dalam berbagai-bagai bidang disiplin ilmu.

Karya dan pemikiran
Karya Syeikh Abbas Aceh yang diketahui secara lengkap adalah sebagai yang berikut:
1. Qunu’ liman Ta’aththuf, diselesaikan pada 8 Rabiulakhir 1259 H/1843 M di Mekah. Manuskrip judul ini tersimpan di Muzium Islam Pusat Islam dengan nombor MI 220, disalin oleh Muhammad 
Kadak bin Ismail Jering, Kampung Dala, Pattani, pada bulan Rejab. Penyalin berasal dari Kampung Bendang Daya Pattani, tanpa kenyataan tahun penyalinan. MI 513 disalin pada 1296 H/1878 M, dan MI 670 manakala yang tersimpan di Pusat Manuskrip Melayu pula ialah MS 221(B) disalin pada hari Selasa, Syaaban 1296 H/1878 M di Mekah. Selain itu, terdapat juga koleksi penulis sendiri daripada bekas kepunyaan Muhammad Abdur Rahman bin Lebai Muhammad, Kampung Kepala Bukit, Senggora, disalin pada 1300 H/1882 M.
2.(Sirajuz Zhalam fi Ma‘rifatis Sa‘di wan Nahasi fisy Syuhuri wal Aiyam), diselesaikan pada waktu Dhuha, Isnin, 9 Rejab 1266 H/1849 M. Disalin oleh Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi pada hari Sabtu, 28 Rabiulawal 1306 H/1888 M di Mekah. Cetakan mutawal yang telah dijumpai dalam judul Tajul Muluk oleh Matba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 H/1893 M. Ditashhih oleh Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi kemudian disemak semula oleh gurunya Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani.
3.Kitabur Rahmah.
4.Tazkiratur Rakidin
5.Mau’izhatul Ikhwan

Kitab ketiga dan keempat disebut oleh Tuanku Abdul Jalil dalam kertas kerjanya. Menurutnya, Tazkiratur Rakidin, berbentuk prosa Melayu-Aceh, Naskhah Leiden, 1304 H. Selain dua kitab ini kitab kelima juga disebut oleh M. Adnan Hanafiah dalam kertas kerjanya.
Apabila kita semak keseluruhan karya Syeikh Abbas Aceh, ia menyentuh disiplin ilmu falakiyah, hisab, hikmah, fiqh, perubatan, kesusasteraan dan politik.

Pada bahagian akhir karyanya Qunu’ liman Ta’aththuf, Syeikh Abbas Aceh menyebutkan bahawa dia mengikut Mazhab Syafie dan amalannya mengikut Tarekat Khalwatiyah. Kandungan Qunu’ liman Ta’aththuf pada bahagian akhirnya terdapat dua risalah sebagai tambahan yang dipercayai merupakan catatan Syeikh Abbas Aceh.

Risalah yang pertama mengenai masalah anjing dan risalah yang kedua, masalah hukum meninggalkan sembahyang.

Masalah anjing yang beliau tulis, “Orang wathi’ (menjimak) anjing atau wathi’ orang maka beranak jadi manusia, maka wajib atasnya sembahyang dan puasa. Dan jikalau ia alim, jadi kadi, maka sah ia berkahwin dengan orang. Dan dijadikan iman pun sah, tetapi haram sembelihannya. Dan jikalau bapanya orang dan ibunya anjing, dan anaknya jadi orang, maka sah berimam akan dia, dan sembelihannya haram jua. Dan air matanya, dan air liurnya, dan ...(naskhah rosak), dan basah farajnya, maka sekalian itu suci. Khilaf bagi Syeikh Ibnu Hajar dan Syeikh Ramli ...”

Kita semak pula Sirajuz Zhalam, pada bahagian mukadimah, Syeikh Abbas Aceh menulis, “Maka bahawasanya bertitah oleh orang yang empunya kebesaran dan kemegahan pangkatnya, ialah yang menanggung panji-panji syariat dalam negeri Aceh yang mahrus, dan itulah tuan kita, sultan yang kebesaran pangkatnya, dan kemuliaan nasabnya, dan kebesaran kepujiannya, itulah sultan yang dilaqab dengan sultan Manshur Billah Syah ibnu Sultan Johor al-Alam Syah.

Akan bahawasanya aku kerjakan baginya suatu risalah yang mukhtasar dengan bahasa Jawi pada menyatakan mengenal segala hari bulan Arab. Dan mengenal segala saat bagi segala hari dan dari bulan ...”, demikian yang tertulis pada semua Sirajuz Zhalam yang pernah dicetak.

Tetapi ada beberapa manuskrip pada perkataan “... ibnu Sultan Johor al-Alam Syah” itu ditulis dengan “... ibnu Sultan Fathani al-Alam Syah”. Ada tiga tempat dalam kitab Sirajuz Zhalam itu menyebutkan nama itu, dan pada ketiga-tiga tempat itu semuanya berbeza tulisannya, “... ibnu Sultan Johor al-Alam Syah” atau “... ibnu Sultan Fathani al-Alam Syah”.

Sebagaimana disebutkan bahawa salah seorang guru Syeikh Abbas Aceh ialah Syeikh Ahmad/Muhammad al-Marzuqi, pada mukadimah juga Syeikh Abbas Aceh menyebut ulama itu dengan “Syaikhuna”. Dia juga menyebut karya ulama itu yang berjudul Syarh Natijati Miqat sebagai pegangannya mengenal ‘ilmu nujum’ (ilmu perbintangan atau astronomi).

Sebagaimana pada judul artikel ini telah penulis sebutkan bahawa Syeikh Abbas Aceh adalah seorang ahli astronomi dunia Melayu. Astrologi ialah satu disiplin ilmu yang membicarakan baik dan buruk manusia yang dihitung menurut perjalanan perbintangan, planet dan bulan.

Sebenarnya Sirajuz Zhalam bukan hanya membicarakan persoalan itu sahaja, tetapi adalah bersifat menyeluruh, bab pertama, mengenal sejarah bulan Arab. Mengenai ini Syeikh Abbas Aceh merujuk kepada kitab Wasilatut Thullab karya Syeikh Yahya bin Muhammad al-Hattab al-Maliki.

Dimulai dengan perpindahan Nabi s.a.w. dari Mekah ke Madinah, awalnya dengan hisab itu pada hari khamis, dan dengan ru’yat itu pada hari Jumaat. Dibicarakan pula istilah tahun kabisah dan basitah dan lain-lain.

Pendek kata kitab Sirajuz Zhalam adalah merupakan sebuah kitab yang bercorak sains yang merupakan pembuka jalan untuk kita membandingkan dengan buku-buku sains moden dalam bidang ilmu falakiyah, hisab, astrologi/astronomi dan sebagainya.

Baik pada peringkat awal bahkan sampai sekarang memang tidak ramai ulama dunia Melayu kita membicarakan ilmu yang itu, sama ada yang tersebar berupa bahan bercetak dan yang bercorak klasik satu-satunya hanyalah kitab Sirajuz Zhalam.

Yang berupa manuskrip pula boleh dikatakan hampir-hampir tidak dijumpai. Dalam koleksi penulis, terdapat sebuah manuskrip yang tidak diketahui nama pengarangnya.

Penutup karyanya itu, Syeikh Abbas Aceh menganjurkan supaya merujuk kepada kitab-kitab yang terkenal iaitu Risalah Imam Ja’far as-Shadiq, Risalah Abu Ma‘syaril Falaki, Wasilatut Thullab, ‘Umdatut Thalib, Syamsul Ma‘arif al-Kubra, Syarhu Nazhmi Natijatil Miqat, Syarhu Sirajil Munir, Syarhu Nazhmil Kawakib, dan banyak lagi yang tidak beliau senaraikan tetapi disebut pada beberapa tempat di antaranya Qanunus Siyasah.

Ada pun Kitabur Rahmah, menurut M. Adnan Hanafiah, kandungannya membicarakan ilmu tabib dan ubat-ubatan. Tazkiratul Rakidin, peringatan bagi yang terlambat adalah dalam bentuk puisi dan prosa dalam bahasa Melayu-Aceh. Mau’izhatul Ikhwan, iaitu pengajaran kepada kawan, karya ini berbentuk prosa dalam bahasa Melayu-Aceh juga.

Menurut M. Adnan Hanafiah juga, bahawa Syeikh Abbas Kutakarang mengatakan dalam risalahnya, “segala bentuk perbuatan yang memberi manfaat kepada kafir dihukumkan orang itu menjadi kafir”.

Barangkali pemikirannya itu mencerminkan bahawa dia adalah seorang ulama yang sangat anti terhadap Belanda yang menceroboh dan menjajah Aceh pada zaman itu.

ulama-nusantara.blogspot.co.id

Martabak Telur Aceh - Resep Cara Membuat Martabak Telur Aceh



Kuliner khas Kota Serambi Mekah, Aceh ini mempunyai satu keunikan. Telur yang biasa menjadi isi yang dilapisi oleh kulit martabak, kalau martabak aceh justru sebaliknya, kulit martabak yang dibungkus oleh telur pipih (menyerupai hasil proses pendadaran). Mungkin karena itu banyak orang yang menjuluki martabak aceh sebagai martabak terbalik atau kebalik.

Di kota-kota besar, sudah banyak penjual martabak aceh, karena memang kuliner ini begitu terkenal di seluruh pelosok nusantara. Soal rasa, Anda pasti dibuat ketagihan. Ibu negara pun sempat terpincut dengan martabak khas Aceh ini, mungkin karena bentuknya yang unik.

Cara Membuat Martabak Telur Aceh : 
Sebagian orang penasaran dengan resep martabak telur aceh. Tapi kalau diterka-terka, proses pembuatannya tidak begitu sulit, karena tugas kita hanya membalik posisi serta mengganti isi dan kulit. Bila Anda sedang mencari resepnya, berikut ini akan Resep Harian bagikan untuk Anda.

Bahan utama:

Minyak sayur untuk menggoreng secukupnya

Bahan untuk adonan telur:
9 butir telur ayam
2 batang seledri, iris tipis
2 batang daun bawang, iris tipis
¼ kg udang ukuran kecil dan dada ayam rebus, keduanya dicincang kasar
2 siung bwang putih, cincang halus
1 buah bawang bombay, iris tipis
1 ½ sdt garam
Untuk menumis, gunakan minyak sayur sebanyak 2 – 3 sdm

Bahan adonan kulit martabak :
2 butir telur
400 gram tepung terigu, gunakan merek Serbaguna
50 gram mentega
1 sdt garam
½  gelas air lebih dikit, sekitar 150 – 175 ml
Acar (disertai pembuatan untuk disimpan semalaman):

150 gram bawang merah, potong sesuai keinginan
100 gram cabai hijau, siangi
2 sdt cuka masak
1 ½ sdm gula pasir
½ sdt garam
Cara membuat martabak telur aceh:

Pertama, mari kita buat adonan telurnya:

Panaskan minyak sayur.
Tumis bumbu pada bahan adonan telur (bawang putih dan bombay).
Tambahkan sisa bahan pelengkap, tunggu matang, angkat.
Tuang bumbu tumisan dalam wadah secukupnya, tuangkan telur, aduk rata.
Adonan telur siap pakai.
Kedua, kita lanjut membuat adonan kulit:

Pada satu wadah, campur terigu, mentega, dan garam. Aduk beberapa menit.
Masukkan telurnya, aduk lagi sembari dituangi air sedikit demi sedikit hingga adonan kalis.
Ambil adonan seukuran 75 gram, kemudian dibulatkan pakai tangan berlapis plastik ataupun tidak. Terus lakukan hingga adonan habis.
Rendam terlebih dahulu adonan ke dalam minyak sayur, tutup dengan kain selama 60 menit.
Adonan kulit siap diolah.
Terakhir, kita masuk ke proses pembuatan martabak:

Ambil 1 bulatan adonan, pipihkan dengan alat penggilas setipis mungkin.
Gulung adonan dengan memusatkannya ke tengah, kemudian gilas lagi sampai tebalnya ½ cm (diameter 15 cm).
Panaskan 3 sdm minyak pada wajan gepeng, berdiameter 30 cm.
Goreng adonan kulit sampai kedua sisi matang dan berwarna kecokelatan, angkat.
Lakukan penggilasan dan penggorengan adonan hingga habis, pisahkan.
Panaskan 3 sdm minyak pada wajan martabak tadi, tuang ½ bagian adonan telur, ratakan hingga memenuhi lebar wajan.
Ketika telur menggembung padat dan berwarna kecokelatan, letakkan 1 lapis kulit martabak goreng tadi ke bagian tengah.
Kemudian, lipat semua sisi telur ke bagian tengah hingga kulit terbungkus oleh telur.
Bolak-balik proses penggorengan hingga kedua sisi telur matang, angkat.
Ulangi proses hingga adonan telur habis.
Sebelum disajikan, potong-potong martabak dan siapkan juga acarnya.

Martabak yang sudah jadi bisa sebanyak 12 potong kira-kira, sangat cocok untuk menghabiskan malam bersama keluarga.

resepharian.com

Ikan Kayu Aceh - Keumamah Ikan Kayu Khas Aceh



Bicara soal kuliner Aceh, yang segera terlintas di benak kita adalah cita rasa yang pedas dan lemak ( bersantan ). karenanya, keumamah merupakan cermin yang sangat tepat untuk menampilkan kuliner Aceh. Bedanya, lemak dalam keumamah bukan berasal dari santan, melainkan dari minyak kelapa yang di pakai untuk memasaknya.
Ikan kayu khas Aceh di kenal juga dengan nama Gulaie Keumamah, atau juga populer di sebut Eungkot Kayee. Pada dasarnya, Keumamah Ikan kayu khas Aceh adalah daging ikan tongkol yang di rebus, kemudian di keringkan dengan cara di salai ( diasap ), karena ikan kering menjadi keras seperti kayu. Maka di sebut juga sebagai ikan kayu ( engkot kayee ). Orang Jepang juga mengenal ikan kering seperti ini, di sebut katsubushi. biasanya di serut halus sebagai penyedap rasa berbagai kuah.

Di Aceh, Keumamah Ikan kayu khas Aceh atau ikan kayu di sayut tipis-tipis dan di lembabkan kembali dengan cara merendam nya di dalam air panas, sebelum kemudian di masak dalam bumbu gulai bersantan tebal yang kaya rempah. Kelezatan dan kegurihan Keumamah Ikan kayu khas Aceh membuat disukai banyak orang . karena gulai ini sangat lemak, sebaiknya di santaap dengan nasi pulen yang panas.

Rasa matching dari minyak kelapa di imbangi dengan cita rasa asam yang di ciptakan oleh asam sunti ( belimbing wuluh di keringkan ). karena termasuk gulai, finishing touch untuk masakan ini adalah daun salam koja ( juga disebut daun kari, daun kari pula, atua temurui ). Sesuai kesukaan masing-masing , Keumamah Ikan kayu khas Aceh dari rumah ke satu rumah lain dapat tampil pedas hingga sangat-sangat pedas sekali. Maklum , untuk membuat Keumamah Ikan kayu khas Aceh di pakai tiga jenis cabai yaitu cabai rawit, cabai merah, cabai hijau. Bukan masakan Aceh bila tidka pedas. Untuk membuat lebih menyenangkan , gulai Keumamah Ikan kayu khas Aceh juga sering di isi dengan kentang, kacang panjang, atau sayur-mayur lainya, seperti: jantung pisang, atau terung telunjuk.

infokuliner.com

Sate Matang - Sate Khas Aceh




Sate Matang adalah tusukan daging berupa sate yang ada di provinsi Aceh. Sate ini dinamakan dengan sate matang karena awal mulanya sate ini diperkenalkan oleh penjualnya di kota Matang Geuleumpang Dua sebuah kota kecamatan di kabupaten Bireuen. Pada tahun 90 an sate ini populer dibeberapa kota besar di Aceh, kini banyak sekali bertebaran penjual sate di Aceh dan kota Medan Sumatera Utara yang menjajakan sate dengan label "sate matang".

Bahan utama masakan sate matang adalah daging kambing, berhubung dengan harga daging kambing yang lebih mahal maka seringkali sate matang dibuat menggunakan daging sapi. Proses pembuatan dan memasak sate matang tidak jauh berbeda dengan sate daerah lain di Indonesia, potongan daging yang telah dibersihkan dan dipotong dadu dalam ukuran kecil. Setelah disematkan pada tusukan sate lalu direndam dalam adonan bumbu berupa rempah-rempah dalam waktu yang agak lama. Selanjutnya sate siap untuk dibakar di pemanggangan.

Sebagai pelengkap adalah kuah kaldu kambing yang khas karena taburan daun bawang, agak kental dan berasa rempah seperti masakan kari. Rempah-rempah yang digunakan dalam membuat kuah kaldu ini menghasilkan aroma yang kuat, segar dan hangat. Adapun rempah yang digunakan terdiri dari kapulaga, bunga lawang, cengkeh, kayu manis dan merica.

id.wikipedia.org

Bubur Kanji Rumbi Aceh - Bubur Khas Aceh



Masyarakat Aceh menyebutnya kanji rumbi, sementara masyarakat di luar Aceh mengenal makanan ini dengan sebutan bubur ayam.

Untuk memasak bubur ayam khas Aceh ini diperlukan bahan seperti ayam, udang rebus, bawang goreng, dan garam secukupnya. Bumbunya berupa ketumbar, merica, adas manis, pekak, kayu manis, bawang merah, biji pala, dan jahe.

Proses pembuatannya tidaklah susah. Beras disangrai sampai kuning, lalu ditumbuk agak kasar. Ayam dan beras direbus bersama hingga ayamnya empuk dan beras menjadi bubur.

Bumbu yang sudah dibungkus dengan kain tipis dimasukkan ke dalam bubur tadi dan ditambah garam.

Bubur dihidangkan dengan taburan ayam yang sudah dipotong-potong dan bawang goreng.

"Untuk memasaknya butuh waktu sekitar dua jam. Setelah itu langsung bisa dibagikan," kata dia.

Bagi masyarakat Aceh, makanan ini menjadi tradisi turun-temurun. Nyaris semua masjid dan surau menyiapkan makanan itu untuk masyarakat secara gratis.

Daging Masak Putih - Daging Masak Putih Aceh (Sie Masak Puteh)




DI Tanah Rencong, hampir semua gerai nasi menyediakan masakan khas Aceh. Sebagian besar menawarkan menu khas sie kameng atau gulai kambing dan sie manok—gulai ayam khas Aceh. Bahkan, ada juga yang menyajikan sie itek atau gulai bebek. Hampir dapat dipastikan, sie manok, sie itek, dan sie kameng disajikan berkuah dengan rasa kari. Bedanya, ada yang karinya kental, ada pula yang encer. Salah satu sajian kari kental dengan tekstur berbeda yakni gulee sie masak puteh. Gulai ini juga kerap ditemukan di berbagai keude bu atau gerai nasi di Aceh. Kekhasan dan perbedaan rasa pedas serta asam pada gulai ini dengan kuliner khas Aceh lainnya, menjadikan masakan dimaksud menjadi menu alternatif yang juga digemari masayarakat Aceh. 

KULINER yang satu ini berbeda dengan makanan khas Aceh lain. Umumnya, pada menu tradisional Aceh langsung kentara campuran rempah-rempah dan merica. Warnanya yang merah kecoklatan, menandakan ragam rempah dan cabai berbaur menjadi satu dalam masakan.
Namun, tak demikian dengan kuliner yang satu ini. Masakan yang disebut gulee sie masak puteh ini memiliki warna putih.  Rasanya juga beda dengan gulai lainnya. Bila kuah khas Aceh lain lebih didominasi rasa asam dan pedas, masakan daging berwujud kari kental ini berasa gurih. Karena itu, resep yang satu ini aman dikonsumsi anak-anak. Rasa gurih tanpa pedas membikin nafsu makan anak bangkit. Bisa jadi, si anak ingin menambah lagi dan lagi.

Dari namanya, dapat dibayangkan menu yang satu ini berwarna putih. Sebagian orang menyebut gulee sie masak puteh ini dengan sebutan gulee puteh atau kari putih. Bahkan, ada juga yang menyebutnya gulee korma atau gulai masak kurma. Padahal, masakan ini sama sekali tidak memakai kurma sebagai bahan maupun bumbu.

Sekilas, gulee sie masak puteh ini mirip masakan opor di Jawa. Warnanya pucat. Namun, makanan ini tidak serupa dengan opor. Sajian kari khas Aceh ini merupakan salah satu masakan yang populer di Serambi Mekkah. Rasanya yang lemak nian, kian digandrungi siapapun.
Istimewanya, masakan ini juga bisa dipadu dengan bahan baku apa saja; daging sapi, daging ayam, bebek, dan juga ikan. Uniknya lagi, sekalipun menggunakan bahan baku ikan atau bebek, tidak ada bau anyir yang menyertai masakan. Banyaknya rempah dan bumbu aromatik yang dipakai, menutup rasa anyir pada ikan atau bebek, sehingga mengumbar aroma harum.

Aroma yang sangat menonjol pada masakan ini dikontribusikan oleh oen temurui. Dalam bahasa Indonesia disebut daun kari atau salam koja. Nah... bila menggunakan bebek, aroma daun pandan yang dipakai untuk mengikat setiap potongan itik, memperkaya keharuman masakan. Selain itu, aroma harum juga berasal dari ketumbar dan jintan. Dalam bahasa Aceh disebut jira.

Ada dua varian jintan yang digunakan dalam masakan khas Aceh: jira maneh dan jira ikan. Biasanya, jira ikan digunakan untuk menghilangkan bau amis atau anyir pada masakan. Seperti ikan atau bebek. Bau anyir yang khas pada ikan dan bebek sesegera mungkin sirna dibunuh keharuman jira.

Rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu menjadikan masakan ini terasa gurih. Bahkan, beberapa peminat kuliner tersebut membikin kuah dengan versi kental. Selain itu, penggunaan kelapa gongseng menciptakan tekstur yang istimewa pada kuahnya.

aceh.tribunnews.com

Ayam Tangkap - Ayam Tangkap Aceh




Ayam Tangkap Khas Aceh - Masakan Ayam Tangkap ini merupakan Masakan Khas Daerah Aceh, dan katanya kebiasaan dari menyantap Ayam Tangkap sudah menjadi budaya masyarakat Aceh. Cara pembuatannya terbilang cukup gampang, dengan beberapa bahan dasar dan di iringi dengan bumbu-bumbu alami membuat masakan ini menjadi lebih istimewa. Berikut informasi Resep Ayam Tangkap Khas Aceh Selengkapnya.

Bahan Ayam Tangkap :
Ayam Tangkap Khas Aceh
1 ekor ayam (sebaiknya ayam kampung)
8 tangkai daun salam koja (temurui)
4 lembar daun pandan, iris kasar
1 liter minyak goreng
1 cangkir air matang
2 buah cabai hijau

Bumbu-bumbu :
3 siung bawang putih (3 siung dirajang, 3 siung dihaluskan)
5 buah cabe rawit
3 buah bawang merah
1 ruas ibu jari (2 cm) kunyit
1 ruas ibu jari (2 cm) jahe
1 sdt garam
air asam jawa, secukupnya

Cara Membuat Ayam Tangkap :
Potong ayam menjadi 24-30 potongan kecil, kemudian cuci bersih. Bila perlu, remas-remas dengan air perasan jeruk nipis.
Haluskan semua bumbu, campur dengan 200 ml air matang.
Masukkan potongan ayam ke dalam bumbu, dan rendam selama 10 menit.
Panaskan minyak di wajan besar sampai benar-benar mendidih.
Goreng ayam sampai kecokelatan.
Semua ayam harus tenggelam dalam minyak dan jangan sampai terlalu berhimpitan satu sama lain.
Untuk hasil terbaik, gunakan wajan yang besar, dengan 2 liter minyak goreng. Atau, jangan menggoreng sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit. (Ingat: keberhasilan masakan sederhana ini sangat bergantung pada teknik menggoreng).
Menjelang ayam matang, masukkan irisan bawang merah, daun salam koja, daun pandan, dan cabe hijau.
Teruskan menggoreng sekitar tiga menit lagi. Angkat, tiriskan,
Segera hidangkan dalam keadaan panas.
Selesai - Siap dihidangkan

menyajikan.com

Roti Canai - Roti Canai Aceh



Roti canai adalah sejenis roti pipih (flatbread) dengan pengaruh India, yang banyak ditemukan di Indonesia dan Malaysia. Roti ini bisa ditemukan di gerai mamak di Malaysia atau di rumah makan Aceh di Indonesia. Di Singapura, roti seperti ini dinamai roti prata. Bentuk dan bahannya mirip dengan kerala porotta. Roti ini sangat pipih karena dibuat dengan cara diputar hingga tipis, kemudian dilipat dan dipanggang dengan minyak, atau bisa pula dengan menebarkan adonan setipis mungkin di atas panggangan.
Di Indonesia, roti canai dihidangkan dengan kari kambing atau domba.

Bahan-Bahan Membuat Roti Cane Khas Aceh :
250 gr tepung terigu
1 btr telur ayam
½ sdt garam
80 ml air matang
50 sdm minyak samin

Cara Membuat Roti Cane Khas Aceh :
Campur tepung terigu, telur, garam, 2 sdm minyak samin dan air. Uleni sampai adonan berubah menjadi kalis.
Bagi adonan menjadi 7 bagian, bentuk bola-bola lalu tutup dengan serbet bersih. Diamkan selama 1 jam.
Ambil satu adonan, giling sampai tipis, olesi dengan sisa minyak samin lalu gulung, sambil diputar-putar di atas meja. Bentuk konde dan istirahatkan selama 30 menit.
Panaskan wajan pipih, beri sedikit minyak samin. Ambil satu adonan, giling tipis dan goreng hingga kecokelatan dan matang, angkat. Taruh dalam pinggan, sajikan bersama chutney. 

indonesiaberselera.blogspot.co.id
id.wikipedia.org

Pliek U Aceh - Resep Membuat Pliek U Aceh



Pliek U adalah hidangan sayur khas Aceh, jika anda berkunjung ke aceh/ Rumah makan yang menyajikan makanan khas Aceh sangat dipastikan anda akan menemukan Pliek U ada di daftar menu makanan.
hal yang membuat sayur ini unik dan berbeda dari sayur lainya adalah isianya yang terdiri dari banyak sayur yaitu daun melinjo, kacang panjang, nangka muda, kangkung, terong hijau, buah melinjo.
penggunakan Pliek yaitu ampas parutan kelapa yang sudah mengalami proses pembusukan kemudian dikeringkan tak lupa asam sunti juga ditambahkan ke sayur ini agar memiliki rasa segar. 

Resep Pliek U khas Aceh
Bahan-bahan
 500 gr udang kupas
100 gr daun melinjo
100 gr kacang panjang
500gr nangka muda
100 gr terong hijau
1 ikat kangkung
melinjo secukupnya
3dm Pleak U
1 liter santan
garam secukupnya
gula secukupnya

Bumbu halus
8 butir bawang merah
3 siung bawang putih
8 buah cabe merah
20 buah cabe rawit
1 sdm ketumbar bubuk
2 sdm kelapa sangrai (serundeng)
2 cm jahe
1 sdt kunyit bubuk
2 sdt lada bulat
3 buah asam sunti

Bumbu iris
4 lembar daun jeruk
10 buah cabai hijau besar
4 butir bawang merah
1 batang sereh 

Cara membuat Pliek U khas Aceh
Bersihkan udang dengan air mengalir, kupas kulit cangkangnya, sisihkan
Gongseng Pleak U sampai harum, kemudian tuangkan satu gelas air, setelah air mendidih buang air dan sisihkan Pleak U nya.
Rebus buah melinjo dan nangka sampai empuk lalu buang air nya, sisihkan
Potong kangkung menjadi ukuran yang lebih kecil, poton gdaun melinjo dan pisahkan dari batangnya, potong kacang panjang menjadi seukuran masing-masing 2 cm
Tumis bumbu iris kemudian masukan bumbu halus sampai wangi, selanjutnya masukan udang, tumis sampai udang berubah warna.
Masukan santan aduk agar tidak pecah, kemudian masukan nangka dan melinjo diikuti semua sayuran.
Bumbui dengan garam dan gula, apabila suka tambahkan juga penyedap.
Setelah mendidih dan sayuran matang segera matikan api
Sajikan

ayokitamasak.blogspot.co.id