Senin, 19 Desember 2016

Uang Baru Indonesia 2016 - Bank Indonesia Resmi Terbitkan Uang Baru 19 Desember 2016



Bank Indonesia (BI) meluncurkan 11 pecahan uang rupiah baru secara serentak pada 19 Desember 2016. Desain baru tersebut menapilkan gambar pahlawan yang mewakili seluruh wilaya di Indonesia.

Terdapat 12 gambar pahlawan yang akan menghiasi 11 uang rupiah desain baru tersebut. Hanya ada 11 uang rupiah desain baru karena terdapat satu pecahan yang di dalamnya memuat dua pahlawan.

12 orang pahlawan nasional yang diabadikan sebagai gambar muka pada uang NKRI desain baru tersebut? Berikut daftarnya:
1. Dr Ir Soekarno (Proklamator kemerdekaan RI, Presiden Pertama RI)
2. Drs Mohammad Hatta (Proklamator kemerdekaan RI, Wakil Presiden Pertama RI)
3. Ir H Djuanda Kartawidjaja (Pengukuh kedaulatan Indonesia)
4. Letjen TNI TB Simatupang (Pelindung kemerdekaan Indonesia)
5. Dr Tjipto Mangunkusumo (Pendiri Tiga Serangkai)
6. Prof Dr Ir Herman Johannes (Pelindung paripurna Indonesia)
7. Mohammad Hoesni Thamrin (Perintis revolusi kemerdekaan Indonesia)
8. Tjut Meutia (Pejuang kemerdekaan Indonesia dari era kolonial Belanda)
9. Mr I Gusti Ketut Pudja (Tokoh penentu NKRI)
10.Dr GSSJ Ratulangi (Gubernur pertama Sulawesi)
11. Frans Kaisiepo (Pahlawan kemerdekaan Indonesia)
12. Dr KH Idham Chalid (Guru besar Nahdatul Ulama)

Direktur Departemen Komunikasi BI Arbonas Hutabarat menyebut, meski ada uang dengan desain baru, uang rupiah yang ada saat ini tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.
"Apabila uang rupiah kertas dan logam yang baru tersebut telah dikeluarkan dan diedarkan pada waktunya, maka uang rupiah kertas dan logam yang masih beredar saat ini masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran," ujar Arbonas beberapa waktu lalu.
Uang Kertas Baru Indonesia, Desember 2016

Dikutip dari Website resmi BI, Presiden Republik Indonesia meresmikan pengeluaran dan pengedaran 11 (sebelas) pecahan uang Rupiah Tahun Emisi (TE) 2016, hari ini, 19 Desember 2016, di gedung Bank Indonesia, Jakarta. Peresmian sekaligus menandai bahwa sebelas pecahan uang tersebut mulai berlaku, dikeluarkan, dan diedarkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesebelas uang Rupiah TE 2016 terdiri dari 7 (tujuh) pecahan uang Rupiah kertas dan dan 4 (empat) pecahan uang Rupiah logam. Uang Rupiah kertas terdiri dari pecahan Rp100.000 TE 2016, Rp50.000 TE 2016, Rp20.000 TE 2016, Rp10.000 TE 2016, Rp5.000 TE 2016, Rp2.000 TE 2016 dan Rp1.000 TE 2016. Sementara itu, untuk uang Rupiah logam terdiri dari pecahan Rp1.000 TE 2016, Rp500 TE 2016, Rp200 TE 2016 dan Rp100 TE 2016.

Peresmian pada hari ini bertepatan pula dengan peringatan Hari Bela Negara. Sejalan dengan semangat bela negara, Uang Rupiah TE 2016 menampilkan dua belas gambar pahlawan nasional sebagai gambar utama di bagian depan uang Rupiah. Pencantuman gambar pahlawan tersebut merupakan bentuk penghargaan atas jasa yang telah diberikan bagi negara Indonesia. Selain itu, semangat kepahlawanan dan nilai-nilai patriotisme para pahlawan nasional diharapkan dapat menjadi teladan, khususnya bagi generasi muda Indonesia.

Untuk lebih memperkenalkan keragaman seni, budaya, dan kekayaan alam Indonesia, uang Rupiah kertas menampilkan pula gambar tari nusantara dan pemandangan alam dari berbagai daerah di Indonesia. Keragaman dan keunikan alam dan budaya yang ditampilkan dalam uang Rupiah diharapkan dapat semakin membangkitkan kecintaan terhadap tanah air Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang), Rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI. Rupiah merupakan salah satu simbol kedaulatan negara yang wajib dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk menggunakan uang Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah NKRI termasuk di daerah terpencil dan daerah terluar Indonesia. Penghargaan warga negara Indonesia pada mata uangnya sendiri diharapkan semakin mendorong berdaulatnya Rupiah di negeri sendiri.

Pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah TE 2016 pun merupakan salah satu pelaksanaan amanat UU Mata Uang. Sesuai undang-undang, persiapan pengeluaran uang Rupiah TE 2016 telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari koordinasi tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2016 tanggal 5 September 2016 tentang Penetapan Gambar Pahlawan Nasional Sebagai Gambar Utama Pada Bagian Depan Uang Rupiah Kertas dan Rupiah Logam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Uang Logam Baru Indonesia, Desember 2016


Sumber
http://www.bi.go.id
http://bisniskeuangan.kompas.com
www.liputan6.com

Senin, 12 Desember 2016

Susunan Pengurus Organisasi Ikatan Mahasiswa Aceh Surakarta (IMASKA)

Periode Tahun  2016/2017

Pimpinan Harian
Ketua Umum              : Ferdi Firmansyah
Wakil Ketua               : Misra
Sekretaris Umum        : Hafizi
Bendahara                  : Uni Harnika

Pengurus Harian dan Bidang
Sosial Masyarakat     : Nasrul Aidi
Keorganisasian          : Mirza Iskandar
Keagamaan               : Muhammad Rafiqi
Seni dan Olahraga     : Zulfikar


Minggu, 11 Desember 2016

Mahasiswa Aceh Melakukan Aksi Penggalangan Dana Peduli Gempa Aceh, Pidie Jaya Di CFD Solo


Foto anggota IMASKA bersama Relawan Solo Raya, (11/12/2016)
SOLO-Sejumlah mahasiswa asal Aceh yang tergabung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Aceh Surakarta (IMASKA) melakukan aksi penggalangan dana Peduli Gempa Aceh yang sudah dimulai sejak jumat, (08/12/2016) lalu dan berakhir hari minggu (11/12/2016). Sebagaimana aksi yang dilakukan beberapa hari sebelumnya, aksi penggalangan dana hari ini mendapat banyak dukungan dari beberapa komunitas yang mengatas namakan Relawan Solo Raya, Forum Organisasi Kedaerahan (FORDA) Surakarta dan mahasiswa dari berbagai Universitas di Surakarta serta  Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Surakarta.

Foto Aksi Peduli Gempa Aceh, Pidie Jaya
Aksi Peduli Gempa Aceh yang dilakukan oleh IMASKA hari ini (11/12/2016) bertepatan dengan momen CFD yang dimulai sejak pukul 06.00 WIB sampai pukul 09.00 WIB yang bertempat di depan kantor Wali Kota Solo. Sebagaimana biasanya CFD berkumpulnya masyarakat dengan berbagai aktifitasnya masing-masing. Sebagai rasa solidaritas masyarakat Solo terhadap korban gempa Aceh, wali kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo ikut serta dalam aksi penggalangan dana yang dilakukan oleh IMASKA. Tidak hanya itu, Pemerintahan Kota  Solo melalui Wali Kota F.X. Hadi Rudyatmo  juga menyerahkan hasil penggalangan dana yang dilakukan oleh elemen masyarakat Solo kepada IMASKA untuk diteruskan kepada korban gempa Aceh.

Serah terima hasil penggalangan dana minggu, (11/12/2016) oleh Wali Kota Solo kepada penyelenggara (IMASKA)
Ketua Umum IMASKA, Ferdi Firmansyah mengatakan “Aksi ini kami lakukan sebagai rasa solidaritas terrhadap keluarga kami di Aceh yang menjadi korban gempa dan semoga penggalangan dana ini bermanfaat bagi para korban. Kedepannya kita berharap semoga Aceh aman dari segala musibah dan kepada para korban semoga diberi ketabahan dan keteguhan”.


“Selain itu, IMASKA mengucapkan terimakasih atas dukungan dari berbagai komunitas dan dan segenap elemen masyarakat Solo yang telah ber partisipasi dalam penggalangan dana Peduli Gempa Aceh ini, juga terimakasih kepada Bapak Wali Kota Solo yang telah mengunjungi dan mendukung kami” tegas Ferdi.
Orasi Peduli Gempa Aceh bersama Relawan Solo Raya
Secara tehnis koordinator aksi, Misra menjelaskan “Dana yang telah terkumpul akan segera kami salurkan kepada para korban gempa Aceh dalam waktu dekat ini. Mekanisme penyaluran bantuan kami sedang menjajakan kerjasama dengan ikatan mahasiswa Aceh lainnya yang juga melakukan penggalangan dana diberbagai tempat sepulau Jawa.


Pada akhir aksi hari ini anggota Imaska menyanyikan lagu Aceh yang berjudul Saweub Ie Beuna dari Saleum Group yang mengundang empati masyarakat, meski mereka tidak tahu artinya tapi banyak yang meneteskan air mata. 
Litah videonya Klik DISINI

Jumat, 09 Desember 2016

Penggalangan Dana Bantuan Gempa Aceh, Pidie Jaya - Penggalangan Dana IMASKA


Aksi Penggalangan Peduli Gempa Aceh, Pidie Jaya 7 desember 2016 masih berlanjut, kali ini Ikatan Mahasiswa Aceh Surakarta (IMASKA) didukung oleh Forum Organisasi Kedaerahan (FORDA) Surakarta dan pihak BNPB Surakarta. 


Dalam aksinya, IMASKA membagi anggota menjadi beberapa kelompok kecil yang akan ditempatkan dititik-titik yang telah ditentukan sehingga lebih maksimal, namun meskipun dipecah menjadi beberapa kelompo tetap masih dalam satu koordinator.
Penggalangan dana bantuan Peduli Gempa Aceh ini akan dimulai siang sampai sore hari, karena yang ikut serta dalam aksi Peduli Gempa Aceh ini adalah mahasiswa/i maka akan menyesuaikan dengan jadwal perkuliahan, akan tetapi dalam setiap aksi ini akan diusakanan semaksimal mungkin dan bahkan masih akan berlanjut sampai beberapa hari kedepan.

Perbedaan aksi pengnggalangan dana bantuan Peduli Gempa Aceh yang dilakukan hari ini dengan hari kemarin adalah dari hanya dari segi jumlah anggota atau kerja sama, kemarin aksi Peduli Gempa Aceh ini hanya dari kalangan IMASKA saja, namun pada hari ini ada penambahan anggota dengan keikut sertaan FORDA Surakarta, serta karja sama dengan BNPB Surakarta yang memfasilitasi dengan mendirikan posko Peduli Gempa Aceh Pidie Jaya di bebrapa titik.


Meskipun kita tidak bisa membantu langsung ke Aceh, tapi bisa dilakukan dengan cara lain seperti yang sedang dilakukan oleh IMASKA. Meskipun hasil nanti tidak terlalu besar, tetapi akan membantu meringankan beban korban bencana gempa yang saat ini sedang membutuhkan.

“Semoga saudara-saudara kita yang menjadi korban bencana diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi cobaan ini"

Kamis, 08 Desember 2016

IMASKA Galang Dana Bantuan Untuk Korban Gempa Pidie Jaya, Aceh - Gempa Aceh 7 Desember 2016


Sebagai bentuk solidaritas atas bencana alam gempa dengan kekuatan 6,4 skala richter pada 7 desember 2016 yang menimpa warga Aceh, Ikatan  Mahasiswa Aceh Surakarta (IMASKA) menggalang dana dan mendirikan posko bencana gempa Aceh.
Kegiatan sosial ini dinamai Peduli Gempa Aceh 7 desember 2016, untuk kelancaran kegiatan tersebut IMASKA merangkul beberapa organisasi kemahasiswaan dari berbagai kampus, Organisasi Daerah (ORDA) yaitu organisasi perwakiland ari masing-masing daerah di Indonesia yang ada di Surakarta dan melibatkan  masyarakat Aceh yang ada di surakarta, serta intsansi pemerintahan Surakarta.

Kegiatan ini merupakan bentuk dari keberadaan IMASKA, salah satunya adalah aksi penggalian bantuan untuk korban bencana gempa di Aceh. Kegiatan ini juga untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah.



Kegiatan Peduli Gempa Aceh 7 desember 2016 ini secara secara teknisnya kami akan melakukan penggalangan dana dengan cara turuk kejalan secara bersama-sama seperti salah satunya dalam momen car free day. Selain itu, IMASKA juga mendirikan posko Peduli Gempa Aceh 7 desember 2016 agar mempermudah bagi masyrakat yang ingin menyalurkan bantuan.

Kegiatan Peduli Gempa Aceh 7 desember 2016 sudah berlangsung sejak tanggal 8 desember dan akan dilaksanakan dalam  waktu yang belum bisa ditentukan, hasil dari bantuan ini akan diserahkan kepada pihak perantara yang berada di Aceh yaitu posko bantuan yang nantinya akan tersalurkan kepada korban bencana Peduli Bencana Aceh.

Gempa Aceh 7 Desember 2016 - Gempa Aceh

Menunjukkan kerusakan dan korban akibat dari gempa 7 desember 2016 di Pidie Jaya, Aceh

Pada tanggal 7 Desember 2016, sebuah gempa bumi berkekuatan 6,4 skala richter mengguncang Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Indonesia, pada pukul 5.03.36 Waktu Indonesia Barat.  Pusat gempa berada di koordinat 5,25 LU dan 96,24 BT, tepatnya di darat pada jarak 18 kilometer tenggara Sigli, Pidie dan 2 kilometer utara Meureudu, Pidie Jaya pada kedalaman 15 km.  

Pusat gempa yang berada di daratan menyebabkan gempa bumi ini tidak menimbulkan tsunami.  Sedikitnya sepuluh kali gempa susulan dengan kekuatan lebih kecil terjadi beberapa jam setelah gempa ini terjadi. Gempa dirasakan di Kabupaten Pidie Jaya, tempat episentrum gempa ini terjadi. Gempa juga terasa di kabupaten tetangga seperti Pidie, Bireuen, hingga sampai ke Banda Aceh, Langsa, dan Pulau Simeulue.

Kerusakan bangunan terjadi di Kabupaten Pidie Jaya. Di Meureudu, lebih dari belasan bangunan, di antaranya rumah toko dan bangunan stasiun pengisian bahan bakar umum runtuh. Kerusakan bangunan seperti masjid dan stasiun pengisian bahan bakar umum dilaporkan juga terjadi di gampong Keude Ulee Gle, Kecamatan Bandar Dua.
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sedikitnya 99 orang meninggal dunia akibat gempa ini. Sementara, pelaksana tugas Gubernur Aceh menyatakan keadaan tanggap darurat provinsi untuk penanganan pascagempa di tiga kabupaten, yaitu Pidie, Pidie Jaya, dan Bireuen.


Gempa yang mengguncang kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Rabu, 7 Desember 2016 pagi menimbulkan kepanikan. Warga berhamburan menyelamatkan diri dari gempa berkekuatan 6,4 skala richter tersebut. Meski tidak berpotensi tsunami, gempa yang terjadi pada 7 Desember merobohkan banyak bangunan, Hingga kini korban meninggal dan luka-luka telah mencapai pululuhan.

Rabu, 02 November 2016

Syeikh Muhammad Zein - Tokoh Intelektual Islam

DALAM catatan yang tercecer, kali ini, saya ingin menulis seorang ulama yang amat tersohor pada abad ke-18, yakni Syeikh Muhammad Zain al-Asyi. Walaupun namanya belum diabadikan seperti Syeikh Nurdin Ar-Raniri dan Syeikh Abdur Rauf al-Singkili, ulama ini (Syeikh Muhammad Zain al-Asyi) namanya telah tertoreh di dalam sejarah intelektual Islâm di Mekkah dan juga Aceh.
Pengaruh intelektualnya sampai ke negeri Pattani, Thailand. Kiprah ulama ini pantas diangkat sekaligus ingin melihat apakah ulama seperti ini masih dijumpai di Aceh sekarang, dengan memiliki karya dan pengaruh sampai ke jazirah Arab. Mungkin inilah kegelisahan saya, kenapa begitu susah mencari sosok ulama seperti Syeikh Muhammad Zain al-Asyi.

Dalam kenyataan sejarah, kemajuan Aceh tempoe doeloe, tidak hanya disebabkan karena kemampuan penguasaan wilayah yang sampai ke semenanjung tanah Melayu (Malaysia sekarang ini), juga disebabkan kemajuan pesat dibidang ilmu pengetahuan. Bahkan Aceh pada saat itu menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara.

Disebutkan bahwa para pelajar di Nusantara ini sebelum melanjutkan perjalanan mencari ilmu di Timur Tengah (Mekkah dan Mesir) terlebih dahulu singgah di Aceh untuk belajar pada ulama Aceh, seperti Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan di Jawa Barat, seorang ulama yang membawa Tarekat Syathariyah ke tanah Jawa. Demikian pula, Syeikh Yusuf Tajul Makassari Bugis, ulama yang membawa Tarekat Syathariyah ke Sulawesi. Bahkan ulama dari Tanah Melayu, seperti Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Terengganu atau Tok Pulau Manis pengarang Kitab Kifayah. 

Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Haji Abdur Rauf ibnu Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani pengarang kitab Hidayatul Muta’allim (1244 H), Fathul Mannan (1249 H), Jawahirus Saniyah (1252 H) Kitab tasauf yang tebal dan luas perbahasannya adalah Jam’ul Fawaid . Penuntut penuntut Islam di Asia Tenggara akan belajar ke Aceh dulu sebelum berangkat ke Mekkah. Bukti sejarah ini, bisa terlihat misalnya dalam syair yang terkenal dalam dunia Melayu sebagai berikut:.

Tiga bulan dari Aceh lebih kurang, Pelayaran kapal lalu menyeberang, Bertiup angin dari belakang, Sampai ke Jeddah laut yang tenang. Salah satu ulama Aceh yang terkenal pada saat itu adalah Syeikh Muhammad Zain Al Asyi anak daripada Syeikh Jalaluddin bin Syeikh Kamaluddin bin Kadi Baginda Khatib al-Asyi. Ayahnya tersebut pengarang kitab Hidayah al-’Awam (1140 H/1727 M). Ayah Syeikh Muhammad Zain Al Asyi adalah Kadi Malikul Adil dalam masa pemerintahan Sultan Alauddin Maharaja Lela Ahmad Syah (1139 H/1727 M - 1147 H/1735 M) juga pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Johan Syah (1147 H/1735 M -1174 H/1760 M).

Syeikh Muhammad Zain Al Asyi di antara ulama Aceh terkenal di nusantara, bersama ayahnya Syeikh Jalaluddin Asyi paska wafat Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili. Ada beberapa karyanya yang masih bisa dibaca hingga hari ini, seperti kitab Bidayah al-Hidayah, kitab ilmu tauhid yang ditulis pad tahun 1170 H/1757 M. Kitab Bidayah al-Hidayah karya Syeikh Muhammad Zain Aceh agaknya tidak ada hubungannya dengan kitab yang sama judulnya Bidayah al-Hidayah karya Imam Al Ghazzali yang hanya membicarakan masalah memperbanyak amal dalam ilmu tasauf sedangkan Kitab Bidayah al-Hidayah karya ulama Aceh ini membahas mengenai ilmu akidah. kitab ini sampai sekarang masih diajar tidak hanya di Aceh tetapi juga diseluruh wilayah Indonesia, Thailand, Malaysia, Brunai dan selatan Philipina. Bahkan sewaktu penulis pergi salah satu propinsi di Kambodia, kitab ini diajar di madrasah madrasah Islam di negeri tersebut.

Syeikh Muhammad Zain Al Asyi muncul dalam peradaban Islâm dunia Melayu paska kejayaan ulama sufi terkemuka yakni Syeikh Hamzah al-Fansuri (wafat 1016 H/1607 M) dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani (wafat pada Jum’at, 12 Rejab 1039 H/25 Februari 1630 M) sampai zaman Syeikh Nuruddin ar-Raniri (wafat 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M). Namun, para sejarawah lebih banyak mengkaji kontribusi Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Abdur Rauf, dan Syeikh Nurdin. Untuk mengkaji biografi mereka, ada para sarjana yang telah menulis kisah kehidupan ulama tersebut seperti Syed Naquib Al-Attas, Azyumardi Azra, Tudjimah, dah Ahma Daudy. Sayang, data sejarah mengenai Syeikh Muhammad Zain masih mengundang sejumlah penelitian lanjutan.

Syeikh Muhammad Zain Asyi mendapat pendidikan asas secara tradisional dari ayahnya dan daripada ulama-ulama Aceh yang terkenal termasuk para guru ayah beliau sendiri. Syeikh Muhammad Zain Aceh sempat belajar kepada Baba Daud bin Agha Ismail bin Agha Mustata al-Jawi ar-Rumi. pengarang kitab Masa’il al-Muhtadi yaitu murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Baba Daud inilah yang menyempurnakan karya gurunya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang berjudul Turjuman al-Mustafid atau yang lebih terkenal dengan Tafsir al-Baidhawi dalam bahasa Melayu. Salah seorang sarjana yang telah mengupas beberapa isi kitab ini adalah A.H. John, dari Australia.

Setelah itu, Syeikh Muhammad Zain al-Asyi melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Gurunya di Mekah ialah Syeikh Muhammad Said, Syeikh Abdul Ghani bin al-Alim Muhammad Hilal, Syeikh Ahmad al-Farsi (ulama kelahiran Mesir) dan Syeikh Ahmad Durrah (juga ulama kelahiran Mesir). Melihat jaringan intelektual Syeikh Muhammad Zain, saya beranggapan bahwa ilmu-ilmu ulama ini sangat luar biasa.

Sebelum pulang ke Aceh, Syeikh Muhammad Zain Aceh sempat mengajar di Masjid al-Haram Mekah dan di rumahnya. Berdasarkan manuskrip karya Syeikh Haji Abdur Rauf ibnu Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani dapat disimpulkan bahwa pada zaman yang sama terdapat dua ulama yang bernama Muhammad Zain di Mekah. Yang pertama ialah Muhammad Zain al-Mazjaji al-Yamani berasal dari Yaman dan seorang lagi ialah Muhammad Zain al-Asyi berasal dari Aceh. Boleh jadi, Syeikh Muhammad Zain ini menjadi bagian dari ‘duta ilmu Aceh’ yang bagi generasi muda sekarang masih sangat asing namanya.

Karya karya Syeikh Muhammad Zain Asyi adalah sebagai yang berikut: Ilmu Tauhid, ditulis tahun 1114 H/1702 M, Bidayah al-Hidayah, selesai ditulis pada 24 Syaaban 1170 H/14 Mei 1757 M, Kasyf al-Kiram, selesai ditulis pada 8 Muharam 1171 H/22 September 1757 M, Talkish al-Falah fi Bayan Ahkam at-Thalaq wa an-Nikah, tanpa tarikh, Risalah Dua Kalimah Syahadah, tanpa tarikh, Faraidh al-Quran, tanpa tarikh, Masalah al-Faraid, tanpa tarikh, doa Hizb al-Bahri, tanpa tarikh. Daripada karya yang termaktub dalam senarai di atas, Bidayah al-Hidayah adalah karya Syeikh Muhammad Zain Aceh yang paling berpengaruh. Manuskrip salinan kitab itu sangat banyak dijumpai..

Di antara murid Muhammad Zain Asyi yang diketahui dan menjadi ulama terkenal di dunia Melayu ialah Syeikh Haji Abdur Rauf ibnu Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani pengarang kitab Hidayatul Muta’allim (1244 H), Fathul Mannan (1249 H), Jawahirus Saniyah (1252 H) Kitab tasauf yang tebal dan luas perbahasannya adalah Jam’ul Fawaid .

Inilah sekelumit penggalan sejarah ulama Aceh yang jarang diangkat ke permukaan, baik oleh orang Aceh sendiri, maupun para sarjana yang menekuni sejarah jaringan intelekual Islâm Timur Tengah. Saya menganggap bahwa ulama ini menjadi salah satu simpul keilmuan Islâm Nusantara. Bagi kita dewasa ini, menyebut nama ulama terdahulu, pasti akan selalu terkait dengan guru dan karya mereka, yang masih bisa dibaca hingga hari ini. Namun, menyebut nama-nama ulama sekarang, kita malah giring pada persoalan yang keduniaan, seperti persoalan politik (baca: kekuasaan).

Ulama terdahulu sibuk mencari ilmu sampai pada Mekkah. Sekarang semangat ini jarang kita lihat, dimana tidak sedikit ulama lokal yang hanya berpuaskan diri dengan kualitas ilmu yang mereka dapatkan di Aceh. Istilah meudagang menjadi simbol mencari ilmu dewasa dulu, terlihat dari jaringan guru dan karya-karya mereka. Membaca sejarah ulama kontemporer Aceh, saya sulit menemukan fenomena seperti Syeikh Muhammad Zain al-Asyi.

Tentu saja ini menjadi ‘cermin sejarah’ bagi ulama Aceh saat ini. Ulama itu dikenal karena karya, bukan karena persoalan sosial politik. Ulama dikenal karena kehebatan gurunya, bukan karena kedekatan dengan penguasa. Mungkin inilah hikmah terpenting bagaimana agar semangat dan ruh intelektual seperti Syeikh Muhammad al-Asyi bisa bangkit kembali. Dengan demikian, kehebatan dan kehormatan wangsa Aceh akan kembali lagi, manakala ada segolongan ulama yang betul-betul berkhidmat kepada ilmu-ilmu Allah. Mari kita menanti ada ulama Aceh masa kini yang bisa menghasilkan karya-karya yang bisa dinikmati oleh generasi Aceh berikutnya.

atjehcyber.net

Syeikh Jamaluddin - Seorang Muballigh Terkemuka

Husain Jamaluddin Akbar atau Maulana Husain Jumadil Kubro (1310-1453M) dikenal sebagai seorang muballigh terkemuka, di mana sebagian besar penyebar Islam di Nusantara (Wali Songo), berasal dari keturunannya. Ia dilahirkan pada tahun 1310 M di negeri Malabar, yakni sebuah negeri dalam wilayah Kesultanan Delhi. Ayahnya adalah seorang Gubernur (Amir) negeri Malabar, yang bernama Amir Ahmad Syah Jalaluddin.

Nasab lengkapnya adalah Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti Muhammad  .
Maulana Husin, memiliki banyak saudara di antaranya : Aludeen Abdullah, Amir Syah Jalalluddeen (Sultan Malabar), Alwee Khutub Khan, Hasanuddeen, Qodeer Binaksah, Ali Syihabudeen Umar Khan, Syeikh Mohamad Ariffin Syah (Datuk Kelumpang Al Jarimi Al Fatani) dan Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera) .

Maulana Husain memiliki beberapa nama panggilan, diantaranya Sayyid Husain Jamaluddin, Syekh Maulana Al-Akbar atau Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat, ia tercatat memiliki 6 istri, yaitu:
1. Lalla Fathimah binti Hasan bin Abdullah Al-Maghribi Al-Hasani (Maroko), memperoleh seorang anak, yang kemudian dikenal dengan nama Maulana Muhammad Al-Maghribi.
2. Puteri Nizam Al Mulk dari Delhi, memperoleh 4 anak yaitu: Maulana Muhammad Jumadil Kubra, Maulana Muhammad ‘Ali Akbar, Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh Subakir), Syaikh Maulana Wali Islam.
3. Puteri Linang Cahaya, (menikah tahun 1350 M), memperoleh 3 anak, yaitu: Pangeran Pebahar, Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa Agung), Syekh Yusuf Shiddiq (Ayah dari Syekh Quro, Karawang).
4. Puteri Ramawati (Puteri Jeumpa/Pasai) (Menikah tahun 1355 M), memperoleh seorang anak yang bernama Maulana Ibrahim Al Hadrami.
5. Puteri Syahirah dari Kelantan (Menikah tahun 1390 M) memperoleh 3 anak. yaitu ’Abdul Malik, ‘Ali Nurul ‘Alam dan Siti ‘Aisyah (Putri Ratna Kusuma.
6. Puteri Jauhar (Diraja Johor), memperoleh anak bernama Muhammad Berkat Nurul Alam dan Muhammad Kebungsuan
Keempat isterinya yang terakhir, ia nikahi selepas tiap-tiap seorang daripadanya meninggal dunia

Pada tahun 1349 M besama adiknya Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera) , tiba di Kelantan dalam menjalankan misi dakwahnya.
Dari Kelantan ia menuju Samudra Pasai, dan ia kemudian bergerak ke arah Tanah Jawa. Di Jawa ia menyerahkan tugas dakwah ke anakanda tertuanya Maulana Malik Ibrahim. Jamaluddin Akbar al-Husaini sendiri bergerak ke arah Sulawesi dan mengislamkan Raja Lamdusalat (La Maddusila Toappasawe' Datu Tanete) pada tahun 1380 M.
Pada awal abad ke-15, Maulana Husain mengantar puteranya Maulana Ibrahim Al Hadrami ke tanah Jawa.

Pada akhirnya ia memutuskan untuk bermukim di Sulawesi, hal ini dikarenakan, sebagian besar orang Bugis ketika itu belum masuk Islam. Ia wafat pada tahun 1453, dan dimakamkan di Wajo Sulawesi.

id.wikipedia.org

Syeikh Jalaluddin Tursani - Ahli Hukum Islam

Syeikh Jalaluddin Tursani SYEIKH Jalaluddin Tursany, seorang ulama, ahli hukum Islam kenamaan yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Sultan Alaiddin Johan Syah, 1147-1174 H (1733-1760 M). Beliau juga ¬pengarang dan hasil tulisannya dalam bahasa Melayu, antara lain: Mudharul Ajla IIa Rutbaitil A’la (kitab yang mengandung Filsafat, membahas hubungan makhluk dengan Khaliq, Tuhan), Safinatul Hukam (kitab Hukum Islam yang membahas Hukum Dagang, Hukum Keluarga, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata/Pidana dan Teori-teori Pemerintahan yang Maju, bahkan wanita menjadi Raja).

galeriabiee.wordpress.com

Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi - Ulama Syattariyah

Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi, tidak banyak dikenal oleh generasi Aceh kini. Padahal karya Tajul Muluk, sering dibaca sampai sekarang. Sebelum berangkat ke Mekkah beliau berguru pada Syeikh Ali Asyi di Aceh, dan sewaktu beliau berada di Mekkah diantara guru gurunya adalah, Syeikh Daud bin Abdullah Al Fathani dan Syeikh Ahmad al-Fathani.

Kedua ulama ini memang sangat disegani, tidak hanya di tanah Arab, tetapi juga di rantau Melayu, seperti di Aceh, Pattani, dan Kelantan. Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi, agaknya tidak lepas dari jaringan keilmuan Nusantara ini. Kendati, sampai sekarang hampir tidak ada peneliti yang berani melakukan pengkajian terhadap biografinya secara lengkap.

Aceh, pulau jawa, sumatera, dan juga Kalimantan, ada kitab yang selalu dibaca oleh kaum santri atau siapapun yang tertarik dengan ilmu pegobatan, yakni Kitab Tajul Muluk. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi (jawoe), maka siapapun bisa membacanya bila mengerti.

Anak Aceh yang sudah belajar di pesantren modern atau Madrasah ‘Aliyah, diantara cita-cita mereka adalah bisa belajar di Kairo, Mesir. Negeri yang sudah mencetak ribuan ulama, bahkan tidak sedikit jiwa pembaruan di Nusantara, disemai dari mereka yang pernah menimba ilmu di Mesir.

Sehingga anak muda Aceh yang merantau ke Mesir itu tidak sedikit. Saat ini sudah ada yang berbakti di Darussalam, seperti Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim. Juga ada Prof. Dr.Tgk. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh). Di dalam era kontemporer, dunia Islâm di Aceh memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi keilmuan Islam yang didapatkan oleh sarjana-sarjana Aceh yang pernah menuntut ilmu di Kairo ini.

Ini merupakan impian setiap anak muda Aceh, yang mau menuntut ilmu ke mesir. Karena mesir gudangnya Ilmu Pengetahuan, dan Mesir tempat Ilmu pertama kali yang terbaik dalam hal masalah agama dan Ilmu pengobatan.

Selain Tajul Muluk, ada karyanya yang masih ada sampai saat ini adalah Jam’u Jawami’il Mushannifat. Salah satu kitab yang wajib dibaca di dayah-dayah, tidak hanya di Aceh, melainkan juga di Pattani dan Kelantan. Di dalam kitab tersebut, Syeikh Ismail menulis sepenggal kalimat yang sangat puitis:

Di dalam hal ini, Syeikh Ismail selain mentashihkan kitab-kitab ulama Aceh pada saat itu agar mudah dibaca umum. Selain itu ia juga mengarang kitab sendiri seperti Muqaddimatul Mubtadi-in, yang dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1307 Hijrah/1889 Masehi. Tuhfatul Ikhwan fi Tajwidil Quran, diselesaikan pada waktu Dhuha hari Jumaat dua likur Jamadilawal 1311 Hijrah/1893 Masehi.

Cetakan pertama Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Terdapat lagi cetakan Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1324 Hijrah/1906 Masehi, Fat-hul Mannan fi Bayani Ma’na Asma-illahil Mannan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311 Hijrah/1893 Masehi, Fat-hul Mannan fi Hadits Afdhal Waladi ‘Adnan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi.

Berawal dari kisah Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib al-Asyi, lalu mencoba mencari apakah ada ulama Aceh yang cukup disegani di Mesir? Dalam beberapa ‘catatan tercecer’ telah dikupas beberapa nama ulama Aceh di Mekkah serta jasa mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Mekkah berikut Serambinya (Aceh).

Tanpa sengaja kemudian tersentak bahwa pengarang kitab Tajul Muluk adalah ulama Aceh yang pernah menetap di Mesir. Lagi-lagi, nama beliau tidak pernah terdengar di Aceh, walaupun hanya untuk nama jalan, seperti yang terlihat sekarang, dimana ada nama-nama ulama besar hanya dijadikan sebagai nama-nama jalan di kota besar Aceh.

Wan Muhammad Sangir Abdullah, pengumpul hasil karya ulama Nusantara, mengatakan bahwa Syeikh Ismail Abdul Muthalib Asyi, setelah lama belajar dan mengajar di Mekkah oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani mengirim beliau ke Mesir untuk mengurus dan membina kader kader muda Islam Nusantara yang lagi belajar di Al Azhar Kairo bersama Syeikh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syeikh Ahmad Thahir Khatib, Syeikh Abdurrazak bin Muhammad Rais, dan Syeikh Muhammad Nur Fathani.

Sesampainya di sana beliau mendirikan wadah pemersatu pelajar pelajar Nusantara disana dan beliau diangkat menjadi ketua pertama persatuan pelajar pelajar Melayu di Mesir oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani. Syeikh Ismail Asyi meninggal dunia di Mesir dan sedangkan keturunannya ramai menetap di Makkah.

Sampai sekarang belum diketahui dimana pusaranya. Namun, jasa dan embrio keilmuan yang ditiupkan oleh Syeikh Ahmad Fathani kepada Syeikah Ismail Abdulmuthalib Asyi sudah berhasil. Buah dari hijrah ini sudah dapat kita rasakan sampai hari ini, tidak hanya bagi orang Aceh, tetapi juga bagi umat Islâm di Indonesia, Malaysia, dan Thailand Selatan.

Inilah kisah kecil dan peran Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi. Ada banyak hal yang perlu dipelajari lebih lanjut. Perlu dilacak lagi bagaimana jaringan keilmuannya di Mesir. Sehingga ada ‘alasan sejarah’ mengapa generasi Aceh selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke negeri itu. kisah ini ternyata sudah dilakukan oleh Syeikh Ismail Abdulmuthalib Asyi melalui dorongan dari gurunya yang berasal dari Pattani. Untuk itu, kita berharap nama ulama ini bisa mendapat tempat yang terhormat di Aceh, tidak lantas kemudian menjadi nama-nama jalan di kota besar.

Menghormati dan menghargai ulama, adalah dengan cara membaca karyanya dan berdoa atas jasa yang telah diberikan kepada kita saat ini. Begitu banyak manfaat kitab Tajul Muluk, namun tidak seimbang dengan pengetahuan pembaca akan penulis kitab ini. Akhirnya ‘sejarah tercecer’ dan tersebar entah kemana, kali ini bisa menjadi perhatian bagi masyarakat dan pemerintah Aceh.

Sudah saatnya digagas untuk menulis dan mencari dimana ulama-ulama Aceh di Timur Tengah..Kita berharap ada upaya nyata dari pemerintah untuk menggali dan mencari jejak-jejak ulama Aceh, yang telah berjasa dalam pengembangan keislaman dan keilmuan sehingga menjadi iktibar bagi generasi Aceh selanjutnya.

Secara sejarah, modernisasi pendidikan di Mesir berawal dari pengenalan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi Napoleon Bonaparte pada saat penaklukan Mesir. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang dicapai Napoleon Bonaparte yang berkebangsaan Perancis ini, memberikan inspirasi yang kuat bagi para pembaharu Mesir untuk melakukan modernisasi pendidikan di Mesir yang dianggapnya stagnan.

Diantara tokoh-tokoh tersebut Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Ali Pasha. Dua yang terakhir, secara historis, kiprahnya paling menonjol jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Sistem Pendidikan di negara Mesir meliputi: Sekolah Dasar (Ibtida’i); Sekolah Menengah Pertama (I’dadi);  Sekolah Menengah Atas (Tsanawiyah ‘Ammah); Pendidikan Tinggi.

Mesir dengan luas  wilayah sekitar 997.739 km², mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat Daya), sedangkan sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur.

Asal nama Mesir, Orang Qibti (Mesir kuno) menyebut negeri ini di zaman dahulu dengan istilah Kemy dan Takemy yang berarti hitam atau tanah yang hitam, sebagai simbol dari warna tanah yang subur. istilah Mesir paling kuno adalah Tawey yang berarti dua tanah. Karena secara geografis Mesir terbagi kepada dua, Tasymaao (dataran tinggi) dan Tsameho (permukaan laut atau ardh wajhul bahri). Nama ini muncul sejak akhir 4000 tahun SM.

atjehcyber.net

Selasa, 01 November 2016

Syeikh Hamzah Fansuri - Ulama Sufi dan Sastrawan



Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri adalah seorang ulama sufi dan sastrawan yang hidup pada abad ke-16. Meskipun nama 'al-Fansuri' sendiri berarti 'berasal dari Barus' (sekarang berada di provinsi Sumatera Utara) ada pula sarjana yang berpendapat ia lahir di Ayutthaya, ibukota lama kerajaan Siam. Hamzah al-Fansuri lama berdiam di Aceh. Ia terkenal sebagai penganut aliran wahdatul wujud. Dalam sastra Melayu ia dikenal sebagai pencipta genre syair. A. Teeuw menyebutnya sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia.

Karya-karyanya
Puisi
Syair Hamzah Fansuri terdiri atas 13-21 bait. Setiap bait terdiri atas empat baris, yang berima a-a-a-a. Pada umumnya jumlah kata tiap baris ada empat, meskipun terdapat pengecualian. Syair Hamzah al-Fansuri banyak terpengaruh puisi-puisi Arab dan Persia (seperti rubaiyat karya Umar Khayyam), namun terdapat perbedaan. Rima rubaiyat adalah a-a-b-a, sedangkan Hamzah al-Fansuri memakai a-a-a-a.

Dari segi tema setiap syair yang dikarang Hamzah al-Fansuri membahas salah satu aspek tasawuf yang dianut oleh sang penyair itu.

A Teeuw menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri memperkenalkan individualitas, hal yang sebelumnya tidak dikenal dalam sastra Melayu lama. Dia juga memperkenalkan bentuk puisi baru untuk mengekspresikan diri. Inovasi lain adalah pemakaian bahasa yang kreatif. Hamzah Fansuri tidak segan-segan meminjam kata-kata dari bahasa Arab dan Persia dalam puisinya. 

Daftar puisi :
Syair Burung Unggas
Syair Dagang
Syair Perahu
Syair Si Burung pipit
Syair Si Burung Pungguk
Syair Sidang Fakir

Prosa
Asrar al-Arifin
Sharab al-Asyikin

id.wikipedia.org

Daud Ar-Rumi Al-Jawi - Murid Sheikh Abdul Rauf Al-Fansuri

Koleksi Tulisan Allahyarham: WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH
NAMA lengkap ulama yang akan dibicarakan ini iaitu Baba Daud al-Jawi ibnu Ismail ibnu Agha Mustafa ibnu Agha Ali ar-Rumi. Datuk neneknya berasal dari Turki dan lebih jauh ke atas lagi berasal dari Rom.

Salah seorang keturunannya pergi Aceh, selanjutnya ada yang ke Pattani dan Kelantan. Cerita ini penulis peroleh darpada Nik Mustafa bin Haji Abdul Qadir, salah seorang keturunannya di Kota Bharu, Kelantan (1976-1978). Beliau pula mendengar cerita darpada ayahnya, Haji Abdul Qadir bin Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani.

Azyumardi Azra menyebut dalam Jaringan Ulama, (hlm. 210) bahawa adalah salah seorang askar bayaran Turki yang datang dalam jumlah besar untuk membantu Kesultanan Aceh dalam perjuangannya melawan Portugis.

Namun penulis masih meragui pendapat ini kerana di Turki pada zaman yang sama ada seorang tokoh besar Tarekat Qadiriyah bernama Ismail ar-Rumi (wafat 1631 atau 1643 M). Mengenai tahun wafat tersebut, penulis petik dari buku Martin Van Bruinessin berjudul Kitab Kuning (cetakan kedua, hlm.213). Ada kemungkinan Ismail ar-Rumi inikah yang dimaksudkan sebagai ayah Baba Daud al-Jawi itu, atau tokoh lain yang kebetulan nama sama.

Pendidikan

Maklumat terawal mengenai pendidikannya baru diperoleh daripada dua sumber. Sumber pertama berdasarkan pengakuan beliau sendiri, yang ditulis pada bahagian akhir kitab Turjumanul Mustafid, “... sekecil-kecil muridnya dan sehina-hina khadamnya itu, iaitu Daud al-Jawi anak Ismail anak Agha Mustafa anak Agha Ali ar-Rumi...”.

Makna yang dimaksudkan pada kalimat yang tersebut ialah bahawa beliau murid dan khadam kepada Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.

Sumber yang kedua ditulis oleh murid beliau, Sheikh Faqih Jalaluddin bin Kamaluddin al-Asyi di dalam salah satu versi Manzarul Ajla ila Martabatil A’la, bahawa Sheikh Arif Billah Baba Daud adalah murid Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Syathariyah Baba Daud al-Jawi menerima baiah daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu.

Selain mendapat pendidikan daripada Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, belum ditemui maklumat yang membicarakan pendidikan lanjut Baba Daud al-Jawi yang dibicarakan ini.

Sehingga kini karya yang dapat ditonjolkan sebagai suatu hasil karya hanya sebuah saja. Itu pun hanya sebagai seorang yang menyelesaikan dan membuat tambahan terhadap karya gurunya, Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang tersebut.

Sebagai bukti bahawa kitab Turjumanul Mustafid diselesaikan oleh Baba Daud al-Jawi, beliau tulis pada akhir kitab tafsir itu, “Dan menambahi atasnya oleh sekecil-kecil muridnya ...” .

Manuskrip asli Turjumanul Mustafid karya Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang diselesaikan oleh Baba Daud al-Jawi itu akhirnya dipunyai oleh salah seorang keturunannya di Pattani. Kemudian diserahkan kepada Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Daripada manuskrip itulah yang diproses dan ditashih oleh Sheikh Ahmad al-Fathani yang kemudian dicetak dan disebarkan secara luas.

Hasil cetakan yang diusahakan oleh Sheikh Ahmad al-Fathani itulah, kitab tafsir itu masih diterbitkan hingga sekarang. Kitab tersebut juga dinamakan Tafsirul Baidhawi asy Syarif, dan dengan nama Tafsir Baidhawi itulah yang paling popular di kalangan masyarakat Alam Melayu. Penerbitan-penerbitan awal Tarjuman al Mustafid karya Sheikh Abdur Rauf al-Fansuri ini tercatat :

a. Cetakan pertama Istanbul (Turki) 1302 H (1884 M)

b. Cetakan pertama Matba’ah Miriyah, Bulaq, Mesir 1303 H (1885 M)

Dalam beberapa terbitan Tarjuman al Mustafid di halaman terakhir, terdapat maklumat bahawa kitab tersebut ditashih oleh tiga orang, iaitu:

a. Sheikh Ahmad al-Fathani, iaitu adalah pentashih yang pertama sekali.

b. Sheikh Idris al-Kalantani. Maksudnya adalah Sheikh Idris bin Husein al-Kalantani, iaitu murid kepada Sheikh Ahmad al-Fathani, yang telah beliau berikan kepercayaan dalam bidang khas pentashihan selanjutnya jika terdapat kekeliruan teknik cetakan dan lain-lain.

Hendaklah diperhatikan bahawa Sheikh Idris al-Kalantani tersebut lain dari Sheikh Idris al-Marbawi yang pernah juga sebagai pentashih Tarjuman al Mustafid pada terbitan-terbitan mutakhir.

c. Sheikh Daud al-Fathani. Maksudnya adalah Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani, juga murid Sheikh Ahmad al-Fathani yang masih ada pertalian keluarga, iaitu orang kepercayaan Sheikh Ahmad al-Fathani sesudah Sheikh Idris al-Kalantani.

Mengenai data kandungan ringkas kitab ini, Sheikh Ahmad al-Fathani menyebut:”…yang diterjemahkan dengan bahasa jawi, yang diambil setengah maknanya dari Tafsir al-Baidhawi…”. Ini bererti Tarjuman al Mustafid bukanlah merupakan terjemah secara keseluruhan Tafsir al-Baidhawi seperti banyak diperkatakan orang.

Pendapat Sheikh Ahmad al-Fathani ini sesuai pula dengan tulisan penyalin pertamanya, iaitu ulama yang dibicarakan ini, Daud al-Jawi bin Ismail yang mengatakan:

“Akan kisahnya yang diambil kebanyakannya daripada Khazin. Terlalu baru Karel A. Steenbrink yang merupakan petikan dari tulisan Petter Riddel, yang mengatakan bahawa “ternyata dasar tafsir ini adalah sebuah terjemahan yang cukup harfiah darpada Tafsir Jalalayn”, ini kerana walaupun Sheikh Ahmad al-Fathani tidak menyebut Tafsir Jalalayn itu, namun kalimat beliau itu telah mewakili bahawa dikarangkannya Tarjuman al Mustafid hanya sebahagiannya saja dari tafsir-tafsir selainnya termasuk Khazin mahupun Jalalayn.

Menurut keterangan beberapa orang keturunan Baba Daud al-Jawi yang berada di Pattani dan Kelantan, selain menyelesaikan karya tersebut, beliau juga menghasilkan beberapa karya yang lain. Namun sampai sejarah ini ditulis, penulis belum menemui karya yang lainnya.

Sebagai kesan daripada pengaruh nama beliau yang diawali dengan ‘Baba’, hingga sekarang dalam seluruh wilayah Pattani apabila seseorang itu membina pondok pengajian, mempunyai pengetahuan agama Islam dan berpengaruh dalam masyarakat disebut ‘Baba’.

Pada mulanya hanya keturunan dan yang ada hubungan keluarga dengan beliau saja yang layak digelar demikian, tetapi akhirnya gelaran itu merata kepada setiap guru pondok yang terpandang atau masyhur.

Salah seorang keturunannya yang menjadi ulama terkenal yang dapat dikesan ialah Sheikh Daud bin Ismail al-Jawi al-Fathani. Namanya dan nama orang tuanya serupa dengan nama datuknya, Baba Daud al-Jawi ibnu Ismail ar-Rumi yang tersebut.

Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani ini adalah saudara sepupu Sheikh Ahmad al-Fathani. Keturunan tersebut dapat dikesan hanyalah yang berada di Mekah, Pattani dan Kelantan, sedang yang di Aceh hingga sekarang penulis belum memperoleh maklumat.

Sampai pada zaman Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani masih ramai keluarganya yang mempunyai kedudukan sebagai pembesar di Turki Uthmaniah. Kekeluargaan tersebut telah dimanfaatkan oleh Sheikh Ahmad al-Fathani dalam pelbagai sektor perjuangannya ketika beliau berada di Turki.

Sebagai catatan, sewaktu penulis dalam menyelesaikan sejarah ini, salah seorang keturunan Baba Daud al-Jawi ibnu Ismail ar-Rumi bernama Hajah Nik Wan Fatimah (Kak Mah) binti Haji Wan Abdul Qadir Kelantan bin Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani, meninggal dunia pada 13 Rabiulakhir 1420 H/26 Julai 1999, hari Isnin, pukul 11 pagi di Kota Bharu, Kelantan.

Sepanjang hayatnya beliau giat mengajar al-Quran dan membuka sekolah untuk mendidik kanak-kanak di rumah kediamannya di Kota Bharu.

Sebagai penutupnya, mengenai Sheikh Daud bin Ismail al-Fathani dan keturunannya akan dibicarakan lebih lanjut di bawah judul nama beliau pada siri-siri yang berikutnya.

ulama-nusantara.blogspot.co.id

Syeikh Abdur Rauf Singkil - Ulama Syattariyah

Makam Syaikh Abdurrauf al-singkili alias Syiah Kuala (bercungkup) di desa Deah Raya di muara Krueng Aceh di Banda Aceh
Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

Masa muda
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.

Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.

Dakwah dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).

Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:

Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.

Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.

id.wikipedia.org