Rapa'i (Alat musik pengiring debus Aceh) |
Kesenian tradisional ini hampir dimiliki oleh setiap Kecamatan di Aceh Selatan. Kesenian ini merupakan gabungan antara seni, agama dan ilmu metafisik (ilmu kebal). Kelompok kesenian ini mempunyai pemain minimal 10 orang yang dipimpin oleh seorang yang biasa disebut khalifah. Kesenian ini menggunakan alat musik yang disebut dengan rapa’i (gendang yang terbuat dari kulit kambing). Kesenian ini umumnya melagukan syair-syair dan zikir dan pujian kepada Allah Sang Pencipta dan kepada Rasulullah SAW sesuai dengan ajaran Islam.
Asal-usulnya:
Konon, menurut riwayat kaum sufi (abad ke 7 H), Rapa’i Dabus ini berasal dari nyanyian-nyanyian (puisi yang berbentuk doa) yang dibacakan oleh seorang mursyid (pemimpin tarikat) dalam ajaran tasawuf-nya. Mursyid ini membacakan doa dan zikir dengan suara yang merdu dan lemah lembut dalam waktu lama, sampai dirinya dan pengikutnya tak sadarkan diri (fana billah). Fana billah inilah yang jadi tujuan untuk mencapai kepuasan batin dan kelezatan jiwa.
Kadang-kadang dalam doa dan munajat mereka kerap terdengar seruan kepada para Malaikat Allah agar segera turun dari langit untuk membimbing mereka yang sedang berjalan menuju makam Makhrifatullah. Rapa’i Zikir masuk ke Aceh bersamaan dengan masuknya agama Islam pada akhir tahun 1 Hijriyah atau awal tahun 2 Hijriyah. Waktu itu pemuka-pemuka agama Islam menggunakan gendang (rapa’i) sambil berzikir atau bersalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bukan untuk berdebus.
Untuk pembacaan puisi, salawat dan doa agar lebih bersemangat, digunakanlah alat berupa gendang yang ditabuh berirama oleh para murid-murid tasawuf untuk mengiringi pembacaan puisi doa itu oleh Mursyid. Biasanya kelompok tasawuf tersebut membuat posisi melingkar. Mereka berdiri melingkari sang Mursyid yang berada di tengah-tengah. Kemudian bergerak pelan-pelan dari kanan ke kekiri sambil mengikuti doa yang dibacakan oleh Mursyid sembari memukul gendang oleh beberapa orang muridnya.
Adakalanya gendang dipukul cepat sesuai irama pembacaan puisi doa dan adakalanya dipukul lambat. Suara mereka terdengar serentak dan merdu sesuai dengan bunyi gendang, tidak membentak-bentak, karena maklum kelompok sufi (orang suci) ini sedang mermunajat (mujahadah) kepada Al-Khalik yang akan menurunkan Nur kelembutan-Nya kepada setiap hamba-Nya yang sedang berjalan menuju makam-Nya.
Menurut sejarahnya, kelompok Sufi ini sebelum melakukan kegiatan mujahadah secara bersama itu, terlebih dahulu berwuduk serta berpakaian sopan serta bersih dan biasanya dilakukan setelah shalat Ashar di dalam ruangan tertutup dan tidak dipertontonkan kepada umum (untuk menghindari sifat riya, takabur dan pamer taat).
Lantas, pada akhir-akhir ini saja (awal abad 19 M oleh generasi berikutnya menyalahgunakan fungsi zikir dengan gendang (rapa’i) ini kepada hal-hal yang memamerkan ilmu kebal kepada khalayak. Bahkan sudah sangaja dipertontonkan atau dilombakan. Padahal kesenian Zikir Gendang (Rapa’i) ini hanya sebagai alat/media orang-orang suci untuk berjalan dengan ajaran tarikat menuju fana billah (asyik dan masyuk).
Kalaupun ingin juga zikir dalam lagu Rapa’i Dabus itu digunakan untuk pengebalan diri, biasanya para leluhur kita dahulu memanfaatkan ilmu itu saat mereka berperang dengan Belanda atau kaum kafir yang menjajah negeri mereka.
Para leluhur yang mengamalkan tarikat Naqsyabandy, atau tarikat lainnya, kebanyakan mereka tidak pernah merasa takut kepada kaum kafir, meskipun mereka harus mati syahid saat berperang di medan laga, demi berjuang mempertahankan tanah air, bangsa dan agama. Justru itu tak heran jika rakyat berperang melawan Belanda, selalu yang jadi pemimipin (khalifah/komandannya) terdiri dari kaum ulama yang taat seperti: Teungku Chik Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, dan yang lain-lain.
Dikisahkan sewaktu Tengku Amir, Teuku Cut Ali dan Panglima Rajo Lelo, Tengku Ali Usuh dan Mat Sisir berperang melawan pasukan Belanda pada abad 19 adalah lima orang pejuang dari Aceh Selatan yang memiliki ilmu kebal, tapi karena sedikit terbesit rasa riya pada diri pejuang bangsa itu (karena memaki Belanda saat berperang) maka akhirnya sebagian mereka tewas akibat kena peluru dan senjata tajam. Tengku Amir dari Tapaktuan tewas tertembak di Pegunungan Meukek dan dikebumikan di pinggir lapangan bola kaki Kota Naga Tapaktuan, Teuku Cut Ali tewas di Alue Bebrang – Lawesawah – Kluet Timur, kepalanya dipotong dan dibawa dan ditanamam di Suaq Bakung – Kluet Selatan.
Sebutan Khalifah dalam Debus
Secara logika agama, pemakaian sebutan khalifah sebenarnya khusus kepada orang-orang tertentu yang sanggup memikul warisan para Nabi dan mampu mengayomi kesejahteraan ummat manusia dengan bimbingan Nur Ilahi. Itulah dia Khalifah yang sebenarnya atau bisa juga sebutan itu dipikul oleh seorang Wali Allah yang terpilih (Aulia/Waliyullah). Tetapi dalam kesenian tradisional Rapa’i Dabus, khalifah adalah sang pemimpinnya – yang bertanggung jawab pada kelompok dabus jika terjadi hal-hal yang tidak diingini.
Mulai dipopulerkan:
Rapa’i Dabus (bahasa Aceh – daboih), merupakan seni tari kesaktian yang digemari sebagian masyarakat Aceh Selatan sejak Belanda datang ke Aceh. Biasanya dipertunjukan pada acara keramaian, pesta perkawinan, sunat rasul dan malam resepsi kesenian rakyat pada HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dulu, di Tapaktuan pada awal abad XIX M, Kesenian Rapa’i Dabus ini mulai dipertandingkan antara daerah (Kewedanaan) oleh Pemerintah Belanda pada Hari HUT Kelahiran Ratu Wihelmina. Padahal semasa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636) Kesenian Rapa’i Dabus ini sangat dilarang ditampilkan. Karena waktu itu Syekh Abdurrauf (Syiah Kuala) yang menjadi penasehat Sulthan Iskandar Muda mengharamkan permainan Rapa’i Dabus ini dengan alasan, pada kesenian Rapa’i Dabus terdapat beberapa hal yang melanggar syariat Islam yang kaffah, antara lain adalah:
a. menampak-nampakkan sikap takabbur (dasarnya dari firman Allah SWT dalam surat Al-Mukmin ayat 72 yang berbunyi: Fabik samast wal mutakabbiriiin, artinya: “maka neraka jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri (takabbur’).
b. mengundang sikap sombong/membanggakan diri kepada manusia (karena sengaja dipertontonkan pada khalayak). Agama Islam sangat melarang penganutnya menyombongkan diri karena suatu kelebihan yang dipunyai, padahal yang berhak sombong seharusnya hanya Allah. Sombong itu adalah selendang Allah yang tidak bisa dipakai oleh manusia. Bila dipakai juga Allah akan marah dan murka sebagaimana ancaman-Nya di dalam Al-Qur’an.
c. mengundang sikap ingin bersaing, berlomba-lomba mengalahkan kelebihan dan kesaktian lawan. Kemudian memberi peluang untuk berbuat curang (khianat) kepada lawan dalam berdabus. Sehingga tak jarang peserta rapa’i dabus yang terluka bersimbah darah (menjadi korban kecurangan pihak lawan).
d. diragukan anggota (peserta) Rapa’i Dabus tidak mampu bersikap tawaduk dan wara’ (rendah hati) dalam pergaulan sehari-hari serta tidak suka menampak-nampakkan (menonjol-nonjolkan) kesaktiannya/kekebalan di sembarang tempat. Padahal sikap wara’ dan tawaduk serta rendah hati, sabar, menyembunyikan/merahasiakan kekeramatan (kalau dalam rapa’i dabus disebut sakti), dan tidak riya adalah tuntunan Islam yang kaffah. Dasarnya adalah firman Allah dalam surat Al Ma’un ayat 6 yang berbunyi: “Alladziinahum yuraaa-un”. Artinya: “yaitu orang-orang yang berbuat riya”. Tafsir dari ayat ini: Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di mata masyarakat.
e. Rapa’i Dabus akhirnya akan mengundang sikap permusuhan, karena masing-masing pihak yang bertanding dipastikan ingin lebih dari lawannya; ingin lebih sakti, lebih hebat atau ingin lebih dipuji oleh para penonton, yang akhirnya jika sudah merasa serba lebih akan tersemat rasa ujub (mengagumi diri), bila sudah tersemat dalam hati rasa ujub, maka timbul rasa merendahkan atau meremehkan orang lain. Agama Islam tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Maka dari dasar-dasar itulah Syekh Abdurrauf (Syiah Kuala) mengharamkan permainan Rapa’i Dabus ini pada zaman keemasan Kerajaan Sulthan Iskandar Muda!
Cara Permainan Rapa’i Dabus
Dalam permainan Rapa’i Dabus, selain menggunakan alat musik gendang, juga diperlukan alat-alat senjata tajam, antara lain yaitu:
- Buah dabus
- Rencong
- Pedang
- Parang
- Pisau belati
- Batu bulat yang beratnya 5 – 10 kg
- Rantai
- Besi per mobil
- Gergaji chain-saw (alat penebang pangkal pohon besar).
Kesenian Rapa’i Dabus dimainkan sekitar 20 -30 orang dengan formasi duduk melingkar, masing-masing memegang sebuah rapa’i (gendang). Kelompok ini dipimpin oleh seorang “khalifah) yaitu orang yang menguasai seluk-beluk perdabusan, termasuk menguasai ilmu kebal/tahan senjata tajam.
Begitu sya’ir-sya’ir itu dilantunkan, sang pemimpin atau salah seorang dari anggota dabus masuk ke dalam lingkaran tersebut dan menyalami (berjabat tangan) dengan sang khalifah serta anggota-anggota dabus yang sedang memukul gendang satu persatu.
Kemudian dengan senjata tajam di tangan, dia melakukan gerakan-gerakan tari secara konsentrasi mengikuti irama gendang sembari menyimak doa-doa yang diyakini di dalam hati. Bila suara rapa’i telah membahana gemuruh, anggota yang sedang memegang senjata tajam itu mulai meloncat sambil meliuk-liukkan tubuhnya sambil menikam paha, tangan, perut atau kepalanya.
Dan bahkan pemain itu sangat beraninya memotong-motong lidahnya serta menggorok lehernya sendiri malah mencongkel biji matanya dengan ujung pisau atau rencong di tangannya. Semua yang ia lakukan bisa terjadi secara sakti; yakni paha, perut, tangan yang ditikamnya itu tahan tikam atau tidak terluka sama sekali. Bahkan parang tajam sengaja digorokkan ke leher anggota lain, tetapi juga kebal dan malah tampak rencong, pisau atau senjata tajam lainnya itu tampak bengkok dan patah saat dihantamkan kebahagian tubuh mereka.
Saat itulah menarik dan serunya permainan Rapa’i Dabus ini. Ada juga khalifah dan anggota dabus beratkrasi melilitkan rantai besi panas yang sedang memerah ke leher, badan atau ke pinggang mereka. Ada juga permainan memukul diri dengan rantai secara beruntun ke kepala serta menari-nari dalam bloh apui (unggunan api), atau menimpakan batu bulat yang beratnya 5– 10 kg ke atas kepala. Atau membengkokkan besi per sampai patah dengan tangan. Serta menggergaji perut mereka dengan chain-saw. Kesimpulannya, semua atraksi mereka tidak mempan oleh benda tajam atau kebal dari pukulan dan hempasan benda berat sekalipun.
Di kalangan anggota rapa’i dabus, karena kesenian ini merupakan pertunjukan kesaktian, maka masing-masing mereka sangat ditekankan agar jangan menyombongkan diri dan angkuh terhadap siapapun serta jangan ada niat-niat tertentu (bersifat merugikan orang lain). Jika pantangan ini dilanggar, maka pada diri anggota rapa’i dabus akan terjadi mala petaka, ia bisa tersungkur bersimbah darah dengan luka yang sangat dalam akibat tusukan dia sendiri. Atau akan celaka pada waktu-waktu tertentu dan semua ilmu kebal yang diyakininya akan sirna sekejab dengan hal-hal yang sepele. Karena yang Akbar (besar) adalah Allah, bukan manusia!
Ada 2 (dua) jenis kesenian Rapa’i Dabus yang dikenal di Aceh Selatan yaitu: Dabus Rapai Ngadap Yaitu kesenian dabus yang hanya menggunakan alat musik rapa’i tanpa zikir. Acara kesenian ini umumnya dilakukan pada malam Jum’at di Meunasah (Balai Pertemuan Desa). Kedua Dabus Rapa’i Biasa Yaitu kesenian dabus yang ditampilkan sebagai hiburan para perayaan, peringatan dan acara-acara lainnya.
Memang orang yang kebal senjata tajam atau peluru terdapat di mana-mana karena mereka memang mengamalkan ilmu kebal tersebut dengan mengkaji asal usul besi atau asal usul benda lain, bahkan mereka mengetahui asal usul sesuatu benda malah diyakini sesuatu benda itu mempunyai nyawa. Nah dengan mengutarakan asal usul benda tersebut dalam pembacaan doa atau mantera, benda tersebut patuh dan tunduk kepada orang tadi, maka itulah benda itu bisa bengkok, patah atau pecah – menurut kemauan orang yang memerintahkan.
Logikanya memang kepada Nabi Adam Allah SWT mempercayakan mandat untuk menguasai nama-nama benda di dunia bukan kepada malaikat atau iblis, bahkan iblis sendiri disuruh bersujud kepada Nabi Adam, namun iblis membangkang hingga hari kiamat. Sedangkan Nabi Adam bersama keturunannya dipercayakan oleh Allah untuk menjadi Khalifah (pemimpin) di muka bumi dengan firman-firman-Nya yang banyak kita jumpai dalam Kitab Suci Al Qur’anul Karim.
Maka dengan menggali sejarah itulah lahir ilmu kebal dan diamalkan oleh orang dengan tujuan sebagai tangkal tubuh dalam menghadapi binatang buas dan benda tajam – tentu semuanya itu setelah mendapat izin dan reda dari Allah SWT. Karena semua ilmu asalnya adalah dari Allah SWT – termasuk ilmu berdebus. Pada zaman penjajahan Ilmu ini semata-mata dijadikan sebagai perlengkapan perang menghadapi musuh di meda laga.
Adapun untuk mengetahui mukmin-mukminat yang mengamalkan ilmu kebal ini dia selalu taat dan rendah hati, penyabar dan suit menyakiti perasaan sesama muslim, tiap perbuatannya ikhlas dan kukuh/istiqamah pendirian tidak tinggi hati, tidak sombong, ria dan takbur.
Jika pun terlanjur ria, mereka cepat-cepat mohon ampun dengan memperbanyak istighfar dan zikir. Karena bagi yang mengamalkan ilmu kebal ini sangat takut sekali mati dalam keadaan hatinya sedang sombong dan ujub! Justru tiap detik mereka selalu berdoa mohon ampun kepada Allah Azza Wa Jalla yang Menguasai seluruh kekuatan! Aamiiin! *** (Darul Qutni Ch Sekretaris Komnas-WI Kabupaten Aceh Selatan)
acehprov.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar