DALAM catatan yang tercecer, kali ini, saya ingin menulis seorang ulama yang amat tersohor pada abad ke-18, yakni Syeikh Muhammad Zain al-Asyi. Walaupun namanya belum diabadikan seperti Syeikh Nurdin Ar-Raniri dan Syeikh Abdur Rauf al-Singkili, ulama ini (Syeikh Muhammad Zain al-Asyi) namanya telah tertoreh di dalam sejarah intelektual Islâm di Mekkah dan juga Aceh.
Pengaruh intelektualnya sampai ke negeri Pattani, Thailand. Kiprah ulama ini pantas diangkat sekaligus ingin melihat apakah ulama seperti ini masih dijumpai di Aceh sekarang, dengan memiliki karya dan pengaruh sampai ke jazirah Arab. Mungkin inilah kegelisahan saya, kenapa begitu susah mencari sosok ulama seperti Syeikh Muhammad Zain al-Asyi.
Dalam kenyataan sejarah, kemajuan Aceh tempoe doeloe, tidak hanya disebabkan karena kemampuan penguasaan wilayah yang sampai ke semenanjung tanah Melayu (Malaysia sekarang ini), juga disebabkan kemajuan pesat dibidang ilmu pengetahuan. Bahkan Aceh pada saat itu menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara.
Disebutkan bahwa para pelajar di Nusantara ini sebelum melanjutkan perjalanan mencari ilmu di Timur Tengah (Mekkah dan Mesir) terlebih dahulu singgah di Aceh untuk belajar pada ulama Aceh, seperti Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan di Jawa Barat, seorang ulama yang membawa Tarekat Syathariyah ke tanah Jawa. Demikian pula, Syeikh Yusuf Tajul Makassari Bugis, ulama yang membawa Tarekat Syathariyah ke Sulawesi. Bahkan ulama dari Tanah Melayu, seperti Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Terengganu atau Tok Pulau Manis pengarang Kitab Kifayah.
Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Haji Abdur Rauf ibnu Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani pengarang kitab Hidayatul Muta’allim (1244 H), Fathul Mannan (1249 H), Jawahirus Saniyah (1252 H) Kitab tasauf yang tebal dan luas perbahasannya adalah Jam’ul Fawaid . Penuntut penuntut Islam di Asia Tenggara akan belajar ke Aceh dulu sebelum berangkat ke Mekkah. Bukti sejarah ini, bisa terlihat misalnya dalam syair yang terkenal dalam dunia Melayu sebagai berikut:.
Tiga bulan dari Aceh lebih kurang, Pelayaran kapal lalu menyeberang, Bertiup angin dari belakang, Sampai ke Jeddah laut yang tenang. Salah satu ulama Aceh yang terkenal pada saat itu adalah Syeikh Muhammad Zain Al Asyi anak daripada Syeikh Jalaluddin bin Syeikh Kamaluddin bin Kadi Baginda Khatib al-Asyi. Ayahnya tersebut pengarang kitab Hidayah al-’Awam (1140 H/1727 M). Ayah Syeikh Muhammad Zain Al Asyi adalah Kadi Malikul Adil dalam masa pemerintahan Sultan Alauddin Maharaja Lela Ahmad Syah (1139 H/1727 M - 1147 H/1735 M) juga pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Johan Syah (1147 H/1735 M -1174 H/1760 M).
Syeikh Muhammad Zain Al Asyi di antara ulama Aceh terkenal di nusantara, bersama ayahnya Syeikh Jalaluddin Asyi paska wafat Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili. Ada beberapa karyanya yang masih bisa dibaca hingga hari ini, seperti kitab Bidayah al-Hidayah, kitab ilmu tauhid yang ditulis pad tahun 1170 H/1757 M. Kitab Bidayah al-Hidayah karya Syeikh Muhammad Zain Aceh agaknya tidak ada hubungannya dengan kitab yang sama judulnya Bidayah al-Hidayah karya Imam Al Ghazzali yang hanya membicarakan masalah memperbanyak amal dalam ilmu tasauf sedangkan Kitab Bidayah al-Hidayah karya ulama Aceh ini membahas mengenai ilmu akidah. kitab ini sampai sekarang masih diajar tidak hanya di Aceh tetapi juga diseluruh wilayah Indonesia, Thailand, Malaysia, Brunai dan selatan Philipina. Bahkan sewaktu penulis pergi salah satu propinsi di Kambodia, kitab ini diajar di madrasah madrasah Islam di negeri tersebut.
Syeikh Muhammad Zain Al Asyi muncul dalam peradaban Islâm dunia Melayu paska kejayaan ulama sufi terkemuka yakni Syeikh Hamzah al-Fansuri (wafat 1016 H/1607 M) dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani (wafat pada Jum’at, 12 Rejab 1039 H/25 Februari 1630 M) sampai zaman Syeikh Nuruddin ar-Raniri (wafat 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M). Namun, para sejarawah lebih banyak mengkaji kontribusi Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Abdur Rauf, dan Syeikh Nurdin. Untuk mengkaji biografi mereka, ada para sarjana yang telah menulis kisah kehidupan ulama tersebut seperti Syed Naquib Al-Attas, Azyumardi Azra, Tudjimah, dah Ahma Daudy. Sayang, data sejarah mengenai Syeikh Muhammad Zain masih mengundang sejumlah penelitian lanjutan.
Syeikh Muhammad Zain Asyi mendapat pendidikan asas secara tradisional dari ayahnya dan daripada ulama-ulama Aceh yang terkenal termasuk para guru ayah beliau sendiri. Syeikh Muhammad Zain Aceh sempat belajar kepada Baba Daud bin Agha Ismail bin Agha Mustata al-Jawi ar-Rumi. pengarang kitab Masa’il al-Muhtadi yaitu murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Baba Daud inilah yang menyempurnakan karya gurunya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang berjudul Turjuman al-Mustafid atau yang lebih terkenal dengan Tafsir al-Baidhawi dalam bahasa Melayu. Salah seorang sarjana yang telah mengupas beberapa isi kitab ini adalah A.H. John, dari Australia.
Setelah itu, Syeikh Muhammad Zain al-Asyi melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Gurunya di Mekah ialah Syeikh Muhammad Said, Syeikh Abdul Ghani bin al-Alim Muhammad Hilal, Syeikh Ahmad al-Farsi (ulama kelahiran Mesir) dan Syeikh Ahmad Durrah (juga ulama kelahiran Mesir). Melihat jaringan intelektual Syeikh Muhammad Zain, saya beranggapan bahwa ilmu-ilmu ulama ini sangat luar biasa.
Sebelum pulang ke Aceh, Syeikh Muhammad Zain Aceh sempat mengajar di Masjid al-Haram Mekah dan di rumahnya. Berdasarkan manuskrip karya Syeikh Haji Abdur Rauf ibnu Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani dapat disimpulkan bahwa pada zaman yang sama terdapat dua ulama yang bernama Muhammad Zain di Mekah. Yang pertama ialah Muhammad Zain al-Mazjaji al-Yamani berasal dari Yaman dan seorang lagi ialah Muhammad Zain al-Asyi berasal dari Aceh. Boleh jadi, Syeikh Muhammad Zain ini menjadi bagian dari ‘duta ilmu Aceh’ yang bagi generasi muda sekarang masih sangat asing namanya.
Karya karya Syeikh Muhammad Zain Asyi adalah sebagai yang berikut: Ilmu Tauhid, ditulis tahun 1114 H/1702 M, Bidayah al-Hidayah, selesai ditulis pada 24 Syaaban 1170 H/14 Mei 1757 M, Kasyf al-Kiram, selesai ditulis pada 8 Muharam 1171 H/22 September 1757 M, Talkish al-Falah fi Bayan Ahkam at-Thalaq wa an-Nikah, tanpa tarikh, Risalah Dua Kalimah Syahadah, tanpa tarikh, Faraidh al-Quran, tanpa tarikh, Masalah al-Faraid, tanpa tarikh, doa Hizb al-Bahri, tanpa tarikh. Daripada karya yang termaktub dalam senarai di atas, Bidayah al-Hidayah adalah karya Syeikh Muhammad Zain Aceh yang paling berpengaruh. Manuskrip salinan kitab itu sangat banyak dijumpai..
Di antara murid Muhammad Zain Asyi yang diketahui dan menjadi ulama terkenal di dunia Melayu ialah Syeikh Haji Abdur Rauf ibnu Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani pengarang kitab Hidayatul Muta’allim (1244 H), Fathul Mannan (1249 H), Jawahirus Saniyah (1252 H) Kitab tasauf yang tebal dan luas perbahasannya adalah Jam’ul Fawaid .
Inilah sekelumit penggalan sejarah ulama Aceh yang jarang diangkat ke permukaan, baik oleh orang Aceh sendiri, maupun para sarjana yang menekuni sejarah jaringan intelekual Islâm Timur Tengah. Saya menganggap bahwa ulama ini menjadi salah satu simpul keilmuan Islâm Nusantara. Bagi kita dewasa ini, menyebut nama ulama terdahulu, pasti akan selalu terkait dengan guru dan karya mereka, yang masih bisa dibaca hingga hari ini. Namun, menyebut nama-nama ulama sekarang, kita malah giring pada persoalan yang keduniaan, seperti persoalan politik (baca: kekuasaan).
Ulama terdahulu sibuk mencari ilmu sampai pada Mekkah. Sekarang semangat ini jarang kita lihat, dimana tidak sedikit ulama lokal yang hanya berpuaskan diri dengan kualitas ilmu yang mereka dapatkan di Aceh. Istilah meudagang menjadi simbol mencari ilmu dewasa dulu, terlihat dari jaringan guru dan karya-karya mereka. Membaca sejarah ulama kontemporer Aceh, saya sulit menemukan fenomena seperti Syeikh Muhammad Zain al-Asyi.
Tentu saja ini menjadi ‘cermin sejarah’ bagi ulama Aceh saat ini. Ulama itu dikenal karena karya, bukan karena persoalan sosial politik. Ulama dikenal karena kehebatan gurunya, bukan karena kedekatan dengan penguasa. Mungkin inilah hikmah terpenting bagaimana agar semangat dan ruh intelektual seperti Syeikh Muhammad al-Asyi bisa bangkit kembali. Dengan demikian, kehebatan dan kehormatan wangsa Aceh akan kembali lagi, manakala ada segolongan ulama yang betul-betul berkhidmat kepada ilmu-ilmu Allah. Mari kita menanti ada ulama Aceh masa kini yang bisa menghasilkan karya-karya yang bisa dinikmati oleh generasi Aceh berikutnya.
atjehcyber.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar